Setelah pengaruh kekuasaan Kerajaan
Luwu mulai runtuh akibat perang Luwu dengan Gowa-Bone, maka Kerajaan
Tiro beralih dibawah pengaruh kekuatan Kerajaan Gowa. Dan gelar I TOA
Samparaja
Dg Malaja menjadi Karaeng. (Samparaja Dg Malaja 1470
M –
1510
M)
Pada masa pemerintahan Samparaja Dg
Malaja, Kerajaan Bira dan Ara dibawah kekuasaan Kerajaan Tiro. Namun,
pada perang Kerajaan Tiro melawan Tanah Beru, Kerajaan Bira membantu
Kerajaan Tiro. Dan setelah perang, Kerajaan Bira berdiri sendiri.
Bergitu pula pada perang antara Tiro dan Ara di Kaddoro
Ara, Kerajaan Bira membantu Ara. Setelah perang, Ara berdiri sendiri
menjadi Kerajaan Ara.
Samparaja Dg Malaja juga digelar
Karaeng Sapohatu. Karena dia dikuburkan/dimakamkan pada suatu tempat
dipinggir pantai antara kampung Erelebu
dan Kalumpang,
diatas sebuah batu yang berbentuk payung. Yaitu bagian atas lebar,
kakinya yang bagian bawah kecil dan berpisah dari daratan yang tidak
begitu jauh letaknya. Sekitar 4/5 meter. Sebab dia dikuburkan
ditempat tersebut karena pesan semasa ia hidup, agar dikuburkan di
tempat tersebut. Agar dia dapat melihat rakyatnya bertani didaratan
dan juga melihat rakyatnya yang nelayan yang kelaut menangkap ikan.
Arti Karaeng Sapohatu yaitu Karaeng
yang berumah batu. Sapo artinya rumah dan hatu artinya batu. Batu
tempat Karaeng akan dikuburkan sangat susah untuk digali. Maka
hadatnya menghadap Regent/Karaeng untuk mulai menggali batu itu
sebelum Karaeng meninggal, karena akan memakan waktu yang cuku lama
mengerjakannya. Dan permintaan tersebut disepakati oleh Karaeng, lalu
mulailah digali batu tersebut. Dan memang benar batu tersebut sangat
susah untuk digali karena terdiri dari satu batu yang tidak terpisah.
Meski demikian, hadatnya tetap berusaha keras untuk mengerjakan dan
menyelesaikannya demi mewujudkan keinginan sang Karaeng.
Saat mereka sedang menggali batu
tersebut, datanglah seorang pedagang (menurut keterangan yang dapat
dipercaya, pedagang tersebut seorang yang berkebangsaan Cina) berkata
bahwa “kalau menggali batu yang begitu keras, batu tersebut harus
dibakar dengan api yang menyala-nyala, dengan cara mengumpulkan kayu
sebanyak-banyaknya diatas batu lalu bakar hingga batu tersebut merah
menyala, lalu siram dengan air laut, maka batu tersebut akan mudah
pecah, dan jika masih ada bagian yang masih keras, bakar kembali
seperti sebelumnya hingga semua komponen batu mudah pecah dan lakukan
seterusnya hingga menjadi sebuah lubang yang dikehendaki”. Petunjuk
tersebut dituruti dengan baik hingga batu tersebut menjadi sebuah
lubang yang akan dijadikan sebagai kuburan. Sebagai tanda terima
kasih Karaeng kepada orang Cina tersebut, dibelilah sebuah guci dan
piring buatan Cina yang disimpan diatas kubur Karaeng yang sampai
saat ini masih ada diatas kubur tersebut, namun sudah pecah.
Sewaktu Karaeng meninggal dunia,
langsung dikuburkan pada batu/kuburan yang telah disiapkan. Sebelum
meninggal, beliau sempat berpesan “jika semua anggota hadatnya
meninggal maka dikuburkan didekatnya”. Beliau berpesan agar semua
hadatnya dikuburkan dalam sebuah lubang/liyang batu yang tidak jauh
letaknya dari kuburnya, sekitar 4-5 meter. Dan permintaan tersebut
dituruti hingga semua hadatnya meninggal dan dikuburkan ditempat
tersebut.
Setelah Karaeng Tiro Samparaja Dg
Malaja meninggal, beliau digantikan oleh anaknya ‘Lolo Hulaeng’,
kemudian Lolo Hulaeng digantikan oleh anak menantu Samparaja Dg
Malaja yang bernama ‘Rangkana Tenaya’, anak Karaeng Kajang Tu
Sappaya Lilana suami dari ‘Hulaeng Dg Calla’ anak perempuan
Karaeng Tiro Samparaja Dg Malaja. Dan setelah Karaeng Tiro ‘Rangkana
Tenaya’ meninggal, beliau diganti oleh anak laki-lakinya yang
bernama ‘Dongko Dg Ngirate’, tetapi tidak lama menjabat sebagai
Karaeng Tiro karena ia ke Gowa dan menikah di Gowa dengan seorang
Janda dari Karaeng Baroanging di Gowa yang bernama ‘Lomo Dg
Tapaja’. Ia tidak boleh lagi kembali ke Tiro menjadi Karaeng. Ia
lalu di gelar Karaeng Sanggaya yang tidak boleh lagi menikah dengan
orang lain. Lalu ia digantikan oleh saudaranya ‘Tiro Dg Sirikang’.
Karaeng Tiro ini tidak lama menjadi Karaeng Tiro karena pergi ke
Selayar. Kemudian digantikan oleh anak ‘Dongko Dg Ngirate’ yang
berada di Tiro bernama ‘Tello Dg Manurung’ yang digelar Karaeng
Nguhangnga (Uban). Lalu beliau digantikan oleh saudaranya yang
bernama ‘Ranggaya Dg Ngilalang’. Lalu digantikan oleh ‘Lesso Dg
Ngilalang’, menantu Karaeng Tiro ‘Tello Dg Manurung’. Karaeng
Tiro ini di gelar ‘Lompo Teke’ yang artinya besar bebannya.
Karena semua urusan dikerjakannya sendiri. Setelah meninggal beliau
dikuburkan di Mehu, di area kampung Erelebu (Tiro), sehingga beliau
di beri gelar ‘Karaeng Tinrowa ri Mehu’.
Setelah Karaeng Tiro Lesso Dg
Ngilalang
meninggal, beliau digantikan oleh ‘Kambu Dg Paolli’, anak lelaki
dari Karaeng Tiro Tello Dg Manurung.
Setelah itu, beliau lalu digantikan oleh saudaranya ‘Launru Dg
Biasa’ yang digelar Karaeng Ambibia
(gemetar).
Inilah beberapa nama yang menjadi
Karaeng di Tiro sebelum masuk Islam.
Setelah kedatangan ulama Islam yang menyiarkan Agama Islam di Tiro,
ulama tersebut diberi gelar ‘Dato’ atau Datuk Tiro. Beliaulah
Karaeng pertama yang beragama
Islam di Tiro sekitar tahun 1605
M (tidak
terdapat dalam Lontara di Tiro tentang namanya dan siapa yang
menggantikan setelahnya).
Sejarah asal mula kedatangan Dato
atau Datuk Tiro secara ringkas akan diuraikan dalam buku ini. Bahwa
Sultan Babullah dari Kerajaan Ternate datang di Somba Opu pada 1580
masehi mengajak raja Gowa menerima sekaligus memeluk Agama Islam
tetapi raja Gowa masih ragu menentukan pilihan antara Agama orang
Melayu (Islam) dan agama orang Portugis (Kristen) (Patunru 1967 M).
Pedagang Melayu memohon pada Sri Ratu Aceh agar dikirim ke Kerajaan
Gowa ulama Agama Islam untuk meyakinkan raja Gowa akan kebenaran
Agama Islam. Lalu dikirimlah 3 ulama yaitu Khatib Sulung, Khatib
Tunggal dan Khatib Bungsu. Inilah awal hubungan Kerajaan Aceh
dan Kerajaan di Sulawesi Selatan. Setelah tiba di Somba Opu
disusunlah strategi Islamisasi. Kerajaan Luwu dianggap tertua dan
diakui kemuliaan oleh raja Bugis Makassar maka mereka berangkat ke
Kerajaan Luwu (istananya di Patimang di Kecamatan Malangke sekarang).
Setelah berlangsung dialog antara
Datu Luwu dan Khatib Sulung, akhirnya Datotallua berhasil
mengIslamkan raja Luwu ke XV. Patiware Dg Parabung (4 Februari 1603
M) dan di beri nama Sultan Muhammad Muddaruddin. Khatib Tunggal dan
Khatib Bungsu kembali ke Gowa sedang Dato Patimang tinggal di Luwu
melanjutkan penyebaran Agama Islam.
Usaha Khatib
Tunggal Datuk Ri
Bandang di Gowa berhasil mengIslam raja Tallo
I Mallingkaang Dg Nyonri Karaeng Katangka
22 September 1605 M dengan nama Sultan Abdullah dan raja Gowa ke XIV
I Mangarangi Dg Manrabiya dengan nama Sultan Alauddin.
Dalam perjalanan ke Gowa antara
Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu terlibat perdebatan tentang aspek
Islam
dalam prioritas Islamisasi. Khatib Tunggal berpendapat aspek Tasawuf
yang paling penting sesuai selera masyarakat. Keduanya mengambil
keputusan berpisah. Khatib Tunggal ke Gowa menyebarkan Islam
dengan penekanaan syariah. Khatib Bungsu tinggal di Kerajaan Tiro dan
mengembangkan ajaran Tasawuf. (Irfan Muhammad, Aminuddin
Cinro Dato
Tiro)
Khatib Bungsu memilih Tiro karena
memiliki pelabuhan transito
(Basokeng,
Biropa, Para-para) yang menghubungkan wilayah timur dan barat
nusantara. Seperti Ternate (Maluku),
Buton, Sumbawa/Bima,
Jawa, Johor, Sumatera, dll. Hal ini dibuktikan ditemukannya sejumlah
pragmen keramik dari abad XIV Masehi, serta hasil galian hasil galian
masyarakat yang disimpan keturunan raja Tiro. Hal ini menunjukkan
adanya aktivitas perdagangan yang sudah maju dipantai Tiro. Inilah
yang menjadi alasan dipilihnya Tiro sebagai salah satu pusat
penyebaran Agama Islam, juga berkaitan dengan kedudukan nya penting
dalam pelayaran niaga.
Setelah Khatib Bungsu mendarat di
Pantai Limbua, beliau lalu mengadakan sosialisasi ajaran Islam di
Pesisir, kemudian berdakwah di perkampungan masyarakat. Berita
kedatangan Khatib
Bungsu
yang memiliki ilmu/kesaktian tinggi sampai ke Raja Tiro I Launru Dg
Biasa. Karaeng Tiro tertarik ingin mengetahui ketinggian ilmu Khatib
Bungsu. Maka diutuslah orang kepercayaannya menemui Khatib Bungsu
agar bertemu dengan Karaeng Tiro. Setelah bertemu, keduanya sepakat
berdialog dan mengadu ketinggian ilmu masing-masing. Dalam berdialog
dan mengadu ilmu, I Launru Dg Biasa sangat kagum dan mengakui
ketinggian ilmu Khatib Bungsu. Khatib Bungsu (Dato Tiro) mengajak
Karaeng Tiro memeluk Agama Islam. I Launru Dg Biasa akhirnya memeluk
Islam pada tahun
1605
M. Karaeng Tiro
meminta Khatib Bungsu tinggal di Kerajaannya dan bersama dalam
menyebarkan Agama Islam.
Disaat I Launru Dg Biasa mengucapkan
syahadat, ia menggigil. Maka ia di gelar Karaeng Ambibia
(menggigil). Melalui Karaeng Tiro, ajaran Dato Tiro secara struktural
disebarkan ke masyarakat. Masyarakat di ajak untuk beribadah dan di
bangunkan mesjid pertama di Tiro, diatas bukit, dihulu sumur panjang
(Buhung Labbua)
diHila-Hila.
Pengembangan ajaran Islam di Tiro dijalankan oleh I Launru Dg Biasa
bersama Dato Tiro dengan jalan damai. Setelah seluruh masyarakat di
Tiro secara resmi menerima Agama Islam di Kerajaan Tiro, maka Tiro
menjadi salah satu pusat pengembangan dakwah. Dari Tiro, Dato Tiro
memperluas pengaruhnya ke arah barat, sekitar pegunungan Kindang dan
Tombolo (perbatasan Gowa, Sinjai).
Usaha dakwahnya di perluas ke utara
menyusuri
pantai sampai ke Bone dan selatan ke Bira, Selayar,
Buton, Sumbawa di
Basokeng Dato Tiro membina sekolah Agama semacam pesantren sekarang.
Bersama
Karaeng Tiro, sistem pengajaran yang di tempuh dengan misi Islamnya
yaitu Tasawuf yang lebih menekankan pengalaman bathiniyah. Mengingat
kondisi masyarakat yang sangat menyukai faham kebathinan (mistik).
Tantangan yang dihadapi Dato Tiro kebiasaan masyarakat yang banyak
bertentangan dengan ajaran Islam seperti minum arak, makan babi, dan
senang menggunakan doti (ilmu sihir/black magic) yang menggunakan
kekuatan semedi. Ilmu sihir ini merupakan bagian dari sistem
kepercayaan PATUNTUNG. Pengikut ajaran Dato Tiro yang walaupun
menganut Agama Islam, tetap menghormati konsep budaya leluhur sejauh
tidak bertentangan dengan Agama Islam. Mereka tetap mempertahankan
konsep penguburan asli leluhur dengan menggunakana nisan MENHIR.
Makam I Launru Dg Biasa jauh dari kemewahan sebagaimana sultan di
daerah lain. Beliau salah satu raja muslim yang mempertahankan
identitas aslinya. Tidak memakai gelar sultan. Berbeda dengan makam
leluhurnya Karaeng Sapohatu (Raja
I di Tiro) dikuburkan dengan batu tinggi (menhir) di pantai Samboang
Bontotiro. Begitupula kuburan Dato Tiro sangat sederhana di Hila-Hila
Bontotiro. Walaupun kuburan Dato Tiro sangat sederhana, namun tetap
banyak yang datang memanjatkan doa dan nasar serta berwisata religi
mulai dari makam Dato Tiro lalu kebuhung Labbua (kolam Hila-Hila) dan
ke limbua, dipinggir pantai untuk berenang /mandi.
Setelah Dato Tiro wafat, maka di
Kerajaan Tiro dibentuk badan syara’ yang dipimpin oleh seorang
Kadhi dan dibantu beberapa staf (pegawai). Kedudukan Kadhi
sederajat dengan Karaeng, dengan tugas di bidang agama, seperti
pernikahan, kematian dan urusan agama lainnya. Sedangkan pegawainya
sama kedudukannya dengan hadat Tiro. Yang menjadi Kadhi pertama di
Tiro adalah murid terpandai dan berpengaruh Dato Tiro yaitu ‘To
Bating’ Karaeng Ajjanggoka, anak dari Tiro Dg Sirikang, Karaeng
Tiro yang ke Selayar.
Setelah Karaeng Tiro ‘Launru Dg
Biasa’ lalu diganti oleh ‘Tjabbe Dg Pasugi’, yang digelar
Karaeng Kojo (kurus) anak dari Karaeng Tiro ‘Ranggaya Dg Pasugi’
lalu diganti oleh ‘Lantjana Dg Paola’, lalu diganti oleh
‘Mallaheri Dg Mallino’ yang digelar Karaeng Tinrowa ri Buhunga
karena kuburannya disana (Erelebu). Setelah beliau diganti oleh
‘Mallurang Dg Mammone’ yang digelar Karaeng Abbeleka (Kurap) anak
menantu dari Karaeng Tiro ‘Launru Dg Biasa’. Lalu diganti oleh
‘Mappurang Dg Mammone’ dan diganti oleh ‘Panggila Dg Mallabu’,
anak menantu dari Karaeng Tiro ‘Mallaheri Dg Mallino, yang digelar
Karaeng Tinrowa Ri Dunnina. Lalu digantikan oleh Karaeng Tiro
‘Panggila Dg Mallabu’ dan digantikan oleh anaknya ‘Lassia Dg
Mangatta’ yang di gelar Karaeng Bongoloa (tuli). Digantikan oleh
‘Batola Dg Manangkasi’, anak dari Karaeng Tiro ‘Tjabbe Dg
Pasugi’. Setelah Karaeng Tiro ‘Batola Dg Managkasi’ lalu
diganti oleh ‘Rona Dg Matasa’, lalu di gantikan oleh ‘Lenggang
Dg Mattannang’.
Setelah Karaeng Tiro ‘Lenggang Dg
Mattannang’ meninggal, maka ‘Sulewalang Tjabolong’ pergi
menghadap kepada Controleur Kajang menyampaikan kematian Karaeng
Tiro. Controleur Kajang lalu bertanya:
Siapa
yang akan menggantikan nya sekarang?
Dijawab ‘belum ada’.
Sekarang sudah tidak ada lagi
Karaeng di Tiro dan ikutlah dengan Karaeng Bira, mengenai adat dan
istiadatmu jalankan seperti biasa dan tidak boleh di atur oleh
Karaeng Bira.
Namun keputusan ini tidak dapat
diterima oleh rakyat Tiro. Menurut mereka di Tiro tidak pernah ikut
atau dibawahi oleh perintah Bira, seperti pernyataan di bawah
ini :
Dongko
Karaeng Tiro
Djure
Gallarrang Bira
Tokalu
Munte-Munte (Lemo-lemo)
Tokambang
Tanahberu
Koko
Batang
Padowe
di Ara
(Lontara Ara Jintu Karaeng Bonto Biraeng/Ara)
Dan
dengan demikian maka jelas bahwa Tiro tidak pernah dibawah perintah
Bira. Meski rakyat Tiro keberatan, controleur Kajang tetap
melaksanakan keputusannya dan titel/gelar Karaeng Tiro di jadikan
Gelarang Tiro, tetapi rakyat tetap mengakui sebagai “Karaeng Tiro”.
Dan yang diangkat oleh controleur menggantikan Karaeng Tiro ‘Lenggang
Dg Mattonang’ menjadi Gelarang Tiro, ialah anaknya sendiri yang
bernama ‘Bacolli Dg Massese’. Inilah Karaeng Tiro yang pertama
menjadi Gelarang Tiro. Tetapi beliau tetap menganggap dirinya Karaeng
Tiro dan hal inilah yang membuatnya terbunuh di Kajang tanpa
diketahui pembunuhnya.
Karaeng/Gelarang
Tiro ‘Bacolli Dg Massese’ digantikan oleh ‘Paroto Dg Patangnga’
anak dari Karaeng Tiro ‘Batola Dg Manangkasi’. Dimasa Paroto Dg
Patangnga menjadi Karaeng Tiro, maka kalompoang/arajang Tiro disimpan
oleh adik perempuannya Rantina Dg Masiang. Rantina Dg Masiang menikah
dengan ‘Basunu Karaeng Bantaeng’. Perkawinan mereka semakin
memperkuat persahabatan Kerajaan Tiro dan Kerajaan Bantaeng. Jika
keluarga Kerajaan Bantaeng datang ke Tiro berziarah/bernasar di makam
Dato Tiro, mereka mengambil tempat di Balla Batola Dg Manangkasi,
Karaeng Tiro di Domeng. Begitupula saat Karaeng Butung melaksanakan
nasar ayahnya bahwa apabila Karaeng Butung sehat dan diangkat menjadi
raja Bantaeng, maka ia datang berziarah ke makam Dato Tiro dan
menyembelih kerbau. Karaeng Butung melaksanakan acaranya di Balla
Batola Dg Manangkasi, tempat kelahiran Karaeng Rantina dan Karaeng
Paroto Dg Patangnga. Sebagai bukti kedekatan kedua Kerajaan ini, maka
di kampung Hila-Hila, Domeng, Para-Para, nama Karaeng Bantaeng
seperti Basunu, Basongeng, Basomang, Butung, didapati nama tersebut
pada keturunan Karaeng Rantina Dg Masiang dan Karaeng Paroto Dg
Patangnga. Begitu pula nama Ranti dan Rantina pada wanita keturunan
Karaeng Rantina Dg Masiang.
Setelah
Karaeng/Gelarang Tiro ‘Paroto Dg Patanga’ diangkatlah ‘Compa’
menjadi wakil. Tetapi tidak di setujui oleh controleur Kajang lalu
diangkatlah saudaranya
‘Sabarrang Dg
Mallabang’.
Setelah
Karaeng/Gelarang Tiro ‘Sabarrang Dg Mallabang’, beliau digantikan
oleh ‘Mallusa Dg Matangnga’, anak dari Karaeng Tiro ‘Rona Dg
Matasa’. ‘Mallusa Dg Matangnga’ digantikan oleh ‘Tanra Dg
Palilu’. Setelah itu digantikan oleh ‘Muhammad’. Tetapi
Muhammad tidak mau tunduk pada perintah Karaeng Bira dan juga tidak
mau di gelar Gelarang. Hingga pada suatu malam, ada seorang yang
datang minta dibukakan pintu, karena ada surat penting yang dibawa
untuk Karaeng. Maka dibukalah pintu oleh Karaeng/Gelarang Muhammad.
Setelah pintu terbuka, seorang yang mengaku membawa surat penting
sangat tahu bahwa yang membuka pintu adalah Karaeng/Gelarang
Muhammad. Maka dia langsung menyerang dan menikam Karaeng/Gelarang
Muhammad hingga meninggal dirumahnya sendiri. Dan tidak diketahui
pembunuhnya.
Setelah
Karaeng/Gelarang Muhammad meninggal, ia lalu digantikan oleh
‘Makkasusa’ anak menantu dari Karaeng/Gelarang Tiro ‘Mallusa Dg
Matangnga’. Tetapi tidak lama menjadi Karaeng/Gelarang karena
banyak hadatnya yang tidak menyetujui. Lalu beliau diganti oleh ‘Baco
Dg Matterru’. Beliau juga tidak lama menjabat sbagai
Karaeng/Gelarang, karena tidak disetujui oleh anggota hadatnya. Dan
digantikan oleh Dg Suang sebagai wakil. Kemudian diadakan pemilihan
antara 2 calon yaitu ; Dg Suang dan Raupung Dg Mattala. Dan yang
mendapat suara terbanyak ialah Raupung Dg Mattala, tetapi dia tidak
mau menjadi Gelarang. Maka controleur Kajang mengangkat ‘Mappa Dg
Mattola’ yang saat itu menjadi mantri cacar dan hanya istrinya yang
keturunan Tiro. Menurut keterangan bahwa ia berasal dari Sanra
Bone kabupaten Takalar. Beliau juga tidak lama menjabat sebagai
Gelarang Tiro karena tidak disetujui oleh anggota hadatnya. Lalu
beliau digantikan oleh ‘Tonang Dg Paoha’.
Awalnya
dia diangkat jadi Gelarang di Tiro. Tetapi tidak lama kemudian pada
tahun 1920 M – 1921 M, maka pangkat/jabatan Karaeng Tiro di
kembalikan, karena beliaulah yang dapat mengembalikan distrik Tiro
dan memajukannya terutama dibidang Agama Islam. Beliaulah yang
pertama mendirikan mesjid di kampung-kampung, begitupula dalam bidang
pendidikan yang mulai dirintis dan menjadi awal adanya sekolah yang
dulu dinamakan Volk school artinya sekolah rakyat/sekolah desa.
Dengan demikian, beliaulah yang mengembalikan pangkat/jabatan Karaeng
Tiro, setelah sembilan susunan Gelarang di Tiro. Dan beliau pula
Karaeng Tiro yang menjabat sebagai Karaeng lebih dari 30 tahun,
hingga beliau meminta diberhentikan karena telah maemasuki usia
lanjut.
Pada tahun 1936
M, beliau
berhenti dengan hormat atas permintaanya sendiri. Atas jasanya,
pemerintah Belanda memberikan “Bintang perak dan tunjangan setiap
bulan sampai beliau meninggal dunia. Setelah wafat beliau diberi
gelar Karaeng Tinrowa ri Masigina, karena dia dikuburkan dekat mimbar
mesjid yang dia dirikan di kampung Basokeng Tiro. Inilah Karaeng yang
paling banyak kata-kata nasehatnya yang merupakan falsafah
kepemimpinan. Setelah Karaeng Tiro ‘Tonang Dg Paola’, lalu di
ganti oleh anaknya yang bernama ‘Andi Abd. Karim Dg Mamangka’.
Inilah Karaeng Tiro yang pertama kali memiliki pendidikan yaitu
tamatan HIS (Holland Island seSchool/sekolah Belanda di Bantaeng).
Dan beliau pula Karaeng Tiro yang paling banyak merangkap jabatan,
baik eksekutif maupun legislatif, antara lain :Anggota
dewan perwakilan rakyat Sulawesi Selatan, mewakili rakyat
onderafdeeling Bulukumba
(sekarang
kabupaten Bulukumba), sekaligus seorang Karaeng di Tiro.
- Anggota pemerintah harian hadat Bulukumba, dan juga merangkap sebagai Karaeng Tiro.
- Anggota dewan perwakilan rakyat sementara kabupaten Bantaeng (lama) dan juga sebagai Karaeng Tiro.
- Anggota dewan pemerintah harian kabupaten Bantaeng (lama) mewakili onderafdeeling Bulukumba.
- Anggota dewan perwakilan rakyat peralihan kabupaten Bantaeng (lama) mewakili rakyat onderafdeeling Bulukumba (sekarang kabupaten Bulukumba).
- Anggota pemerintah harian ‘Permesta’ yang dianggap pemberontak pemerintah RI di jakarta sampai dibubarkan, dll.
BIDANG
POLITIK
Inilah
Karaeng Tiro yang memasuki partai politik ‘Masyumi’ sebagai wakil
ketua dan pernah menjadi Leider HW (Hizbul Wathan) ranting Tiro dan
anggota muhammadiyah ranting Tiro (promotor terbentuknya muhammadiyah
ranting Tiro). Pemerintah hindia Belanda sangat marah saat itu,
karena beliau sangat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Beliau
disuruh memilih untuk tetap jadi juru tulis dikantor Karaeng Tiro
(orang tua) atau aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan keluar dari
juru tulis. Dan saat itu beliau lebih memilih keluar dari juru tulis
dan memilih aktif pada organisasi Muhammadiyah. Beliau kemudian
pindah ke Bira dan menjadi guru pada sekolah Ibtidaiyah ranting Bira
hingga beliau terpilih jadi Karaeng Tiro pada tahun 1936 M. Dan pada
saat itulah organisasi Islam dan partai Islam mendapatkan kemajuan.
Partai yang pertama berdiri pada distrik Tiro adalah PSII (Partai
Serikat Islam Indonesia) lalu NU (Nahdlatu Ulama) dan Masyumi
(Majelis Surah Muslimin Indonesia). Partai yang paling banyak
anggotanya ialah Masyumi. Keaktifannya dalam organisasi Muhammadiyah
disaat menjabat sebagai Karaeng Tiro, maka pemerintah Belanda merasa
tidak senang atas sikap dan tindakannya. Beliau lalu mendapat surat
teguran/peringatan yang berbunyi “Onteredenheidsbeteugde” artinya
rasa ketidaksenangan pemerintah Belanda atas sikap dan tindakannya
tersebut.
USAHA
DALAM BIDANG PEMERINTAHAN
Yang
pertama kali di usahakan adalah bidang pendidikan, kemudian bidang
ekonomi rakyat. Pada bidang pendidikan yaitu dengan menambahkan
beberapa sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar). Setelah beberapa
kampung telah berdiri sekolah rakyat, maka dibangunlah sekolah
lanjutan yaitu Veroologschool (sekolah sambungan 6 tahun) yang saat
itu hanya beberapa distrik yang memiliki sekolah lanjutan (sederajat
dengan sekolah dasar 6 tahun sekarang). Beberapa tamatan SD 6 tahun
Tiro yang menjadi guru besar (professor) yaitu :
- Prof. Dr. Talley dari distrik Ara
- Prof. Dr. Arifin Sallatang dari distrik Lange-Lange
- Prof. Kamaruddin Siratang MA dari distrik Tiro
- Prof. Dr. Tawoni Rahamma MA dari distrik Tiro
Kemudian diusahakan berdirinya
sekolah lanjutan pertama (SMP
yaitu SMP/Sawerigading/Swasta).
Setelah sekolah tersebut berdiri, maka Muhammadiyah dan Nahdlatul
Ulama serta PSII mendirikan juga madrasah (sekolah Islam) dan yang
paling maju adalah madrasah dari muhammadiyah dan mulailah
murid/siswa dari luar distrik Tiro datang belajar/sekolah di Tiro.
Begitupun dengan guru, banyak yang didatangkan ke Tiro untuk
mengajar. Tiro mulai ramai dengan banyaknya pendatang untuk belajar
disana. Setelah ‘Andi Abd. Karim Dg Mamangka’ berhenti menjadi
kepala distrik dan beralih menjadi pegawai negeri di kantor
pendidikan Agama Bonthain. Beliau mengirim beberapa lulusan SD
Sambungan Hila-Hila untuk melanjutkan pendidikannya di PGA 4 tahun di
Bojonegoro, PGAAN Malang dan PHIN Yogyakarta. Atas jasanya, maka
namanya diabadikan pada TPA yaitu TPA Karaeng Karim Dg Mamangka di
Basokeng Bontotiro.
BIDANG EKONOMI
Untuk
memajukan bidang ekonomi, terdapat banyak kesulitan, sebab rakyat
tetap berpegang pada apa yang telah didapatkan dari nenek moyangnya.
Contohnya : usaha kerbau yang minta diganti dengan usaha sapi, karena
sapi lebih produktif dan lebih menguntungkan daripada kerbau. Tetapi
mereka tidak menerima saran tersebut. Maka Karaeng Tiro berinisiatif
mendatangkan sapi di Tiro sebagai contoh dan untuk membuktikan kepada
mereka tentang keunggulan sapi dibAndingkan kerbau. Beberapa waktu
kemudian, rakyat dapat melihat secara nyata keunggulan sapi yang
lebih produktif, dan juga perkembang biakan dan penggunaan sapi
mengolah sawah jauh lebih baik. Akhirnya rakyat pun mau menukarkan
kerbaunya dengan sapi. Hingga saat ini, sekitar 80% rakyat Tiro
memelihara sapi.
Kemudian
dikembangkan tanaman polowijo sebagai barang dagangan seperti kacang
dan kedelai. Meski awalnya rakyat Tiro tidak dapat menerima, karena
mereka telah memiliki tanaman pokok yaitu jagung, umbi-umbian (ubi
jalar, labu) sehingga mereka belum mau menerima yang lain dan
mengubah tanaman mereka. Karaeng Tiro yang ingin memakmurkan
rakyatnya, mulai menanam kedelai dan kacang tanah yang dapat
dijadikan sebagai barang dagangan secara besar-besaran. Dan akhirnya
rakyat Tiro mulai menanam kedelai dan kacang tanah, tapi hanya kacang
tanah yang cocok dan memberikan hasil yang banyak hingga menaikkan
taraf kehidupan rakyat Tiro.
PERJUANGAN
KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1945
Disaat
proklamasi kemerdekaan negara indonesia di proklamirkan di Jawa, maka
seluruh rakyat indonesia yang cinta kemerdekaan tanah air nya
serentak mengadakan pemberontakan melawan penjajah Belanda di
beberapa tempat. Dan distrik Tiro pun tidak mau ketinggalan berjuang.
Lalu diutuslah beberapa pemuda untuk dilatih dipusat perjuangan
pemberontakan di Polongbangkeng kabupaten Takalar. Yang diutus ke
Polongbangkeng dari distrik Tiro adalah Andi Mappijalan sebagai
pimpinan (adik Karaeng Tiro), Muh. Hamid Dg Sipato (menantunya),
Muh.Supardi (sepupunya), dan Muh.Raba (anak angkatnya). Setelah tiba
di Gantarang-Bulukumba, maka bergabunglah dengan para pemuda
Gantarang yang juga siap berangkat ke Polongbangkeng yang dipimpin
oleh Andi Mapijalan, karena beliaulah yang paling tinggi
pendidikannya (beliau alumni dari sekolah taman siswa di Makassar).
Mereka berangkat menuju Polongbangkeng untuk mengikuti latihan disana
dengan berjalan kaki melewati hutan hingga tiba di Polongbangkeng.
Setelah
selesai mengikuti pelatihan diPolongbangkeng, mereka lalu kembali dan
membuat kubu pertahanan di sekitar gunung Bawakaraeng di daerah
Palioi kecamatan Gantarang Kindang. Mereka mengatur siasat bersama
dengan rakyat gantarang untuk merencanakan penyerbuan pos tentara dan
polisi dengan mempergunakan senjata granat tangan dan pistol yang
hanya jumlahnya. Sedangkan rakyat menggunakan kelewang bagi yang
memiliki kelewang tetapi kebanyakan memakai bambu runcing. Dengan
persenjataan yang sangat kurang, membuat mereka tidak dapat bertahan
lama menghadapi persenjataan yang sangat lengkap dan modern. Dan kubu
pertahanan mereka dihancurkan oleh tentara sekutu/NICA, dan banyak
dokumen mereka yang disita dan mereka juga ditangkap kemudian di
tembak mati dihadapan umum. Diantara dokumen mereka yang
disita/dirampas oleh NICA adalah dokumen pembentukan “PRAKTIS
(Pemberontak Rakyat Tiro Sulawesi)”, dan nama Karaeng Tiro
tercantum sebagai penasehatnya. Hal inilah yang membuat Karaeng Tiro
dikenakan tahanan rumah LK 5 bulan, dan juga beberapa kali mendapat
pemeriksaan dan penggeledahan. Pemuda Tiro yang ditembak mati di
hadapan umum ialah Andi Mappijalan, Abd.Hamid Dg Sipato, dan
Muh.Supadi. sedangkan Muh.Raba belum ditembak mati sampai keluar
keterangan larangan menembak para tawanan, karena beliau masih dalam
tahap pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan tentang kedudukan
Karaeng Tiro dalam praktis. Atas jasanya, Andi Mappijalan diabadikan
namanya pada sebuah jalan di ibukota Bulukumba dan juga lapangan
pemuda Andi Mapijalan di Hila-Hila ibu kota kecamatan Bontotiro.
Adapun Muh. Ali Dg Mangalle dan
Abd.Rahman Dg Manompo, selama ditahan mereka disiksa tapi mereka lalu
dibebaskan karena tidak mengaku bergabung dengan praktis. Semua
disangkal karena telah menjadi kesepakatan mereka selama tidak ada
bukti pemberontakan yang mereka lakukan. Selama Karaeng Tiro Andi
Abd.Karim Dg Mamangka dalam tahanan rumah, 23 kali diperiksa dan 5
kali mendapatkan penggeledahan rumah, tapi tidak ada bukti karena
semua dokumennya disimpan dirumah yang lain (bukan dirumahnya).
Pada
tahun 1952 M, Karaeng Tiro Andi Abd.Karim Dg Mamangka meminta
berhenti dengan hormat menjadi Karaeng di Tiro, dengan pertimbangan
bahwa gajinya tidak akan berubah, sebab status/kedudukan Karaeng
pada waktu itu tidak sama dengan kedudukan pegawai negeri. Gaji
Karaeng tidak dapat dinaikkan, berbeda dengan gaji pegawai negeri.
Setelah permohonan berhenti menjadi Karaeng Tiro, beliau pindah
bekerja pada jawatan pendidikan agama kabupaten Bantaeng (lama) yang
berkedudukan di Bulukumba. Beliau menjabat selama ± 6 tahun. Pada
tahun 1959 M, beliau bergabung dengan pamong praja, yang awalnya di
tempatkan di Bantaeng (lama). Setelah terbentuk kabupaten Bulukumba,
beliau lalu di pindahkan keBulukumba. Kemudian pada tahun 1962 M,
beliau dipindahkan ke kantor Gubernur kepala daerah propinsi Sulawesi
Selatan Tenggara hingga beliau pensiun pada tahun 1971 M (pada bulan
juni) sebagai Bupati.
Setelah
Karaeng Tiro Andi Abd.Karim Dg Mamangka mengundurkan diri, beliau
lalu digantikan oleh keponakannya yang bernama ‘Andi Muh.Amin Dg
Matino’. Beliau sangat dekat dengan masyarakat dan banyak
mengetahui kondisi kehidupan masyarakat yang semakin membuat beliau
terinspirasi mengemban jabatannya kedepan. Pada masa Karaeng Tiro
inilah distrik Tiro semakin maju dan perkembangan ekonomi pesat.
Perkembangan ekonomi didapatkan dari hasil kopra, kacang tanah dan
jeruk manis, yang membuat banyak pedagang yang masuk ke Tiro
melakukan perdagangan.
Dalam
mengawali karirnya sebagai kepala distrik Tiro, beliau
memprioritaskan program kerja yang menekankan pada :
- Peningkatan kesejahteraan rakyat
- Pembangunan infra struktur
- Pemerataan pendidikan (Sekolah Rakyat 6 tahun)
- Peningkatan derajat kesehatan/perbaikan lingkungan hidup.
Dalam sektor peningkatan
kesejahteraan masyarakat, beliau fokus pada peremajaan pohon kelapa
dengan menginstruksikan kepada masyarakat untuk melakukan pembibitan
dan di tanam pada area yang tidak termasuk lahan
pertanian/perkebunan. Selanjutnya kelapa yang sudah tua diganti
dengan bibit yang baru/peremajaan. Pohion kelapa tersebut di utamakan
di tanam pada sepenjang Pesisir teluk Bone serta tanah kapur yang
tidak produktif. Dengan pelaksanaan peremajaan dan penanaman bibit
baru kelapa tersebut, maka dalam jangka waktu beberapa tahun Tiro
dikenal sebagai wilayah yang paling banyak menghasilkan kopra, yang
sebagian besar di kirim ke Jawa dengan menggunakan perahu.
Untuk meningkatkan hasil tanaman
jagung dan kacang tanah, masyarakat di berikan motivasi dan juga
bimbingan untuk menggunakan pupuk kandang (kotoran/tinja kuda) yang
banyak ditemukan di wilayah Batang, Bontotangnga hingga ke distrik
Lange-Lange. Ternyata penggunaan pupuk tersebut memberikan hasil yang
berlipat ganda. Hanya saja memerlukan kerja keras dan ketelatenan,
sebab setiap jagung dan kacang tanah harus diberi pupuk. Sampai saat
ini kacang tanah yang berasal dari Tiro yang di tanam pada tanah yang
berwarna merah, masih terkenal sebagai kacang tanah yang memiliki
kualitas terbaik di Sulawesi Selatan.
Di bidang pembangunan infra struktur,
diprioritaskan pada perbaikan jalanan serta pembuatan jalanan baru
yang menghubungkan antara kampung dalam wilayah distrik Tiro, untuk
menjamin kelancaran arus transportasi dengan tujuan mempermudah
pemasaran hasil perkebunan.
Pada sektor pendidikan, diupayakan
mendirikan sekolah rakyat negeri 6 tahun pada tempat yang strategis,
seperti Kalumpang, Salabundang, dan Basokeng. Dengan demikian, setiap
usia sekolah yang berada diseluruh wilayah distrik Tiro dapat di
tampung pada sekolah tersebut, dan juga untuk memberi dampak
bertambahnya guru yang akan ditempatkan di Tiro.
Sekolah rakyat tersebut menjadi cikal
bakal kelahiran sekolah negeri pada setiap kampung dalam area distrik
Tiro. Dan lulusannya banyak melanjutkan pendidikan di SGB negeri dan
SMP negeri di Bonthain.
Pada program peningkatan derajat
kesehatan dan perbaikan lingkungan hidup. Karaeng Tiro Andi Muh.Amin
Dg Matino memotivasi para keala kampung untuk mendirikan Balai
Pengobatan dan menganjurkan masyarakat membuat jamban keluarga
permanen setiap rumah. Beliau juga mengirim anak muda untuk dilatih
bidang kesehatan (pencegahan, pengobatan, dan peningkatan kesehatan)
di kantor Rumah
Sakit Bulukumba
selama 3 bulan. Dan juga diadakan pelatihan dukun beranak di Tiro.
Siswa lulusan SMP di anjurkan masuk sekolah bidan dan perawat di
Makassar, untuk menjadi tenaga kesehatan nantinya di balai kesehatan
yang telah dibangun di Tiro.
Setelah dewan perwakian rakyat
kabupaten Bulukumba terbentuk, lalu mengangkat anggota BPH (Badan
Pemerintah Harian) yang bertugas membantu bupati kepala daerah
Bulukumba. Bupati kepala daerah Bulukumba harus di dampingi oleh 3
orang BPH. Andi Sappewali AS Karaeng Gantarang
kepala distrik gantarang, A. Abd.Syukur Karaeng Tanete kepala distrik
Bulukumba towa, dan Andi Muh.Amin Karaeng Tiro kepala distrik Tiro.
Saat Andi Muh.Amin menjadi anggota BPH Bulukumba, beliau mengangkat
iparnya A.Muh.Nur Dg Macora sebagai pejabat kepala distrik Tiro
(hingga dibubarkan distrik di Sulawesi Selatan). A.Muh.Nur Dg Macora
kemudian manjadi pegawai kecamatan Bontotiro dan melanjutkan
pendidikannya di APDN Makassar.
Setelah lulus, beliau di tugaskan di pemda kab. Bulukumba. Dan
setelah pensiun, A.Muh.Nur Dg Macora menjadi ketua Golkar di
Bontotiro dan anggota DPRD kab. Bulukumba.
Maaf setahu saya Andi.muhammad Amin kepala distrik.terakhir dan camat pertama Ditiro.seiring semba terakhir dan gubwrnur pertama Lanto dg. Pasewan gitu.
BalasHapusBila didasarkan pada SK bupati Bulukumba Andi Patarai no. Pem.31/1961 tgl 25 Mei 1961, Andi Muhsmmad Nur diangkat oleh Bupati sebagai Kepala Distrik Tiro menggantikan kakak iparnya (sepupu sekalinya) andi Muh. Amin
HapusKementar diatas dari saya Andi.Ismail di Batam
BalasHapusmemutar balikkan sejarah, sejak kapan ada kerajaan Tiro dan siapa Rajanya. Kalau emang ada Raja di Tiro itu sebelum penjajahan atau diera penjajahankah, mohon pencerahannya
BalasHapusMakanya pahami baik2 sejarah di atas baca baik2 jngan asal baca saja
HapusMantap
BalasHapusIni lebih teratur dari pada yang Bohe cerita
BalasHapusHard Rock Hotel & Casino - Dr. Maryland
BalasHapusLocated 보령 출장안마 in Atlantic 경상북도 출장샵 City, Hard Rock 서귀포 출장샵 Hotel & Casino features spacious hotel rooms 보령 출장샵 with views of the 김포 출장안마 Atlantic Ocean, along with a bowling alley and an indoor pool.
Kalau boleh tau siapa nama nama siswa yg di kirim Andi abd karim dg mamangka untuk bersekolah PGA di bojonegoro ? Apa betul salah satunya ada org tua kandung sy, Almarhum H. Idrus BA ? 🙏🙏
BalasHapus