Jumat, 03 Februari 2017

BAB III: KERAJAAN TIRO MASA KEKARAENGAN/REGENT/DISTRIK


Setelah pengaruh kekuasaan Kerajaan Luwu mulai runtuh akibat perang Luwu dengan Gowa-Bone, maka Kerajaan Tiro beralih dibawah pengaruh kekuatan Kerajaan Gowa. Dan gelar I TOA Samparaja Dg Malaja menjadi Karaeng. (Samparaja Dg Malaja 1470 M 1510 M)

Pada masa pemerintahan Samparaja Dg Malaja, Kerajaan Bira dan Ara dibawah kekuasaan Kerajaan Tiro. Namun, pada perang Kerajaan Tiro melawan Tanah Beru, Kerajaan Bira membantu Kerajaan Tiro. Dan setelah perang, Kerajaan Bira berdiri sendiri. Bergitu pula pada perang antara Tiro dan Ara di Kaddoro Ara, Kerajaan Bira membantu Ara. Setelah perang, Ara berdiri sendiri menjadi Kerajaan Ara.

Samparaja Dg Malaja juga digelar Karaeng Sapohatu. Karena dia dikuburkan/dimakamkan pada suatu tempat dipinggir pantai antara kampung Erelebu dan Kalumpang, diatas sebuah batu yang berbentuk payung. Yaitu bagian atas lebar, kakinya yang bagian bawah kecil dan berpisah dari daratan yang tidak begitu jauh letaknya. Sekitar 4/5 meter. Sebab dia dikuburkan ditempat tersebut karena pesan semasa ia hidup, agar dikuburkan di tempat tersebut. Agar dia dapat melihat rakyatnya bertani didaratan dan juga melihat rakyatnya yang nelayan yang kelaut menangkap ikan.

Arti Karaeng Sapohatu yaitu Karaeng yang berumah batu. Sapo artinya rumah dan hatu artinya batu. Batu tempat Karaeng akan dikuburkan sangat susah untuk digali. Maka hadatnya menghadap Regent/Karaeng untuk mulai menggali batu itu sebelum Karaeng meninggal, karena akan memakan waktu yang cuku lama mengerjakannya. Dan permintaan tersebut disepakati oleh Karaeng, lalu mulailah digali batu tersebut. Dan memang benar batu tersebut sangat susah untuk digali karena terdiri dari satu batu yang tidak terpisah. Meski demikian, hadatnya tetap berusaha keras untuk mengerjakan dan menyelesaikannya demi mewujudkan keinginan sang Karaeng.

Saat mereka sedang menggali batu tersebut, datanglah seorang pedagang (menurut keterangan yang dapat dipercaya, pedagang tersebut seorang yang berkebangsaan Cina) berkata bahwa “kalau menggali batu yang begitu keras, batu tersebut harus dibakar dengan api yang menyala-nyala, dengan cara mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya diatas batu lalu bakar hingga batu tersebut merah menyala, lalu siram dengan air laut, maka batu tersebut akan mudah pecah, dan jika masih ada bagian yang masih keras, bakar kembali seperti sebelumnya hingga semua komponen batu mudah pecah dan lakukan seterusnya hingga menjadi sebuah lubang yang dikehendaki”. Petunjuk tersebut dituruti dengan baik hingga batu tersebut menjadi sebuah lubang yang akan dijadikan sebagai kuburan. Sebagai tanda terima kasih Karaeng kepada orang Cina tersebut, dibelilah sebuah guci dan piring buatan Cina yang disimpan diatas kubur Karaeng yang sampai saat ini masih ada diatas kubur tersebut, namun sudah pecah.

Sewaktu Karaeng meninggal dunia, langsung dikuburkan pada batu/kuburan yang telah disiapkan. Sebelum meninggal, beliau sempat berpesan “jika semua anggota hadatnya meninggal maka dikuburkan didekatnya”. Beliau berpesan agar semua hadatnya dikuburkan dalam sebuah lubang/liyang batu yang tidak jauh letaknya dari kuburnya, sekitar 4-5 meter. Dan permintaan tersebut dituruti hingga semua hadatnya meninggal dan dikuburkan ditempat tersebut.

Setelah Karaeng Tiro Samparaja Dg Malaja meninggal, beliau digantikan oleh anaknya ‘Lolo Hulaeng’, kemudian Lolo Hulaeng digantikan oleh anak menantu Samparaja Dg Malaja yang bernama ‘Rangkana Tenaya’, anak Karaeng Kajang Tu Sappaya Lilana suami dari ‘Hulaeng Dg Calla’ anak perempuan Karaeng Tiro Samparaja Dg Malaja. Dan setelah Karaeng Tiro ‘Rangkana Tenaya’ meninggal, beliau diganti oleh anak laki-lakinya yang bernama ‘Dongko Dg Ngirate’, tetapi tidak lama menjabat sebagai Karaeng Tiro karena ia ke Gowa dan menikah di Gowa dengan seorang Janda dari Karaeng Baroanging di Gowa yang bernama ‘Lomo Dg Tapaja’. Ia tidak boleh lagi kembali ke Tiro menjadi Karaeng. Ia lalu di gelar Karaeng Sanggaya yang tidak boleh lagi menikah dengan orang lain. Lalu ia digantikan oleh saudaranya ‘Tiro Dg Sirikang’. Karaeng Tiro ini tidak lama menjadi Karaeng Tiro karena pergi ke Selayar. Kemudian digantikan oleh anak ‘Dongko Dg Ngirate’ yang berada di Tiro bernama ‘Tello Dg Manurung’ yang digelar Karaeng Nguhangnga (Uban). Lalu beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama ‘Ranggaya Dg Ngilalang’. Lalu digantikan oleh ‘Lesso Dg Ngilalang’, menantu Karaeng Tiro ‘Tello Dg Manurung’. Karaeng Tiro ini di gelar ‘Lompo Teke’ yang artinya besar bebannya. Karena semua urusan dikerjakannya sendiri. Setelah meninggal beliau dikuburkan di Mehu, di area kampung Erelebu (Tiro), sehingga beliau di beri gelar ‘Karaeng Tinrowa ri Mehu’.


Setelah Karaeng Tiro Lesso Dg Ngilalang meninggal, beliau digantikan oleh ‘Kambu Dg Paolli’, anak lelaki dari Karaeng Tiro Tello Dg Manurung. Setelah itu, beliau lalu digantikan oleh saudaranya ‘Launru Dg Biasa’ yang digelar Karaeng Ambibia (gemetar).

Inilah beberapa nama yang menjadi Karaeng di Tiro sebelum masuk Islam. Setelah kedatangan ulama Islam yang menyiarkan Agama Islam di Tiro, ulama tersebut diberi gelar ‘Dato’ atau Datuk Tiro. Beliaulah Karaeng pertama yang beragama Islam di Tiro sekitar tahun 1605 M (tidak terdapat dalam Lontara di Tiro tentang namanya dan siapa yang menggantikan setelahnya).

Sejarah asal mula kedatangan Dato atau Datuk Tiro secara ringkas akan diuraikan dalam buku ini. Bahwa Sultan Babullah dari Kerajaan Ternate datang di Somba Opu pada 1580 masehi mengajak raja Gowa menerima sekaligus memeluk Agama Islam tetapi raja Gowa masih ragu menentukan pilihan antara Agama orang Melayu (Islam) dan agama orang Portugis (Kristen) (Patunru 1967 M). Pedagang Melayu memohon pada Sri Ratu Aceh agar dikirim ke Kerajaan Gowa ulama Agama Islam untuk meyakinkan raja Gowa akan kebenaran Agama Islam. Lalu dikirimlah 3 ulama yaitu Khatib Sulung, Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu. Inilah awal hubungan Kerajaan Aceh dan Kerajaan di Sulawesi Selatan. Setelah tiba di Somba Opu disusunlah strategi Islamisasi. Kerajaan Luwu dianggap tertua dan diakui kemuliaan oleh raja Bugis Makassar maka mereka berangkat ke Kerajaan Luwu (istananya di Patimang di Kecamatan Malangke sekarang).

Setelah berlangsung dialog antara Datu Luwu dan Khatib Sulung, akhirnya Datotallua berhasil mengIslamkan raja Luwu ke XV. Patiware Dg Parabung (4 Februari 1603 M) dan di beri nama Sultan Muhammad Muddaruddin. Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu kembali ke Gowa sedang Dato Patimang tinggal di Luwu melanjutkan penyebaran Agama Islam.

Usaha Khatib Tunggal Datuk Ri Bandang di Gowa berhasil mengIslam raja Tallo I Mallingkaang Dg Nyonri Karaeng Katangka 22 September 1605 M dengan nama Sultan Abdullah dan raja Gowa ke XIV I Mangarangi Dg Manrabiya dengan nama Sultan Alauddin.

Dalam perjalanan ke Gowa antara Khatib Tunggal dan Khatib Bungsu terlibat perdebatan tentang aspek Islam dalam prioritas Islamisasi. Khatib Tunggal berpendapat aspek Tasawuf yang paling penting sesuai selera masyarakat. Keduanya mengambil keputusan berpisah. Khatib Tunggal ke Gowa menyebarkan Islam dengan penekanaan syariah. Khatib Bungsu tinggal di Kerajaan Tiro dan mengembangkan ajaran Tasawuf. (Irfan Muhammad, Aminuddin Cinro Dato Tiro)

Khatib Bungsu memilih Tiro karena memiliki pelabuhan transito (Basokeng, Biropa, Para-para) yang menghubungkan wilayah timur dan barat nusantara. Seperti Ternate (Maluku), Buton, Sumbawa/Bima, Jawa, Johor, Sumatera, dll. Hal ini dibuktikan ditemukannya sejumlah pragmen keramik dari abad XIV Masehi, serta hasil galian hasil galian masyarakat yang disimpan keturunan raja Tiro. Hal ini menunjukkan adanya aktivitas perdagangan yang sudah maju dipantai Tiro. Inilah yang menjadi alasan dipilihnya Tiro sebagai salah satu pusat penyebaran Agama Islam, juga berkaitan dengan kedudukan nya penting dalam pelayaran niaga.

Setelah Khatib Bungsu mendarat di Pantai Limbua, beliau lalu mengadakan sosialisasi ajaran Islam di Pesisir, kemudian berdakwah di perkampungan masyarakat. Berita kedatangan Khatib Bungsu yang memiliki ilmu/kesaktian tinggi sampai ke Raja Tiro I Launru Dg Biasa. Karaeng Tiro tertarik ingin mengetahui ketinggian ilmu Khatib Bungsu. Maka diutuslah orang kepercayaannya menemui Khatib Bungsu agar bertemu dengan Karaeng Tiro. Setelah bertemu, keduanya sepakat berdialog dan mengadu ketinggian ilmu masing-masing. Dalam berdialog dan mengadu ilmu, I Launru Dg Biasa sangat kagum dan mengakui ketinggian ilmu Khatib Bungsu. Khatib Bungsu (Dato Tiro) mengajak Karaeng Tiro memeluk Agama Islam. I Launru Dg Biasa akhirnya memeluk Islam pada tahun 1605 M. Karaeng Tiro meminta Khatib Bungsu tinggal di Kerajaannya dan bersama dalam menyebarkan Agama Islam.

Disaat I Launru Dg Biasa mengucapkan syahadat, ia menggigil. Maka ia di gelar Karaeng Ambibia (menggigil). Melalui Karaeng Tiro, ajaran Dato Tiro secara struktural disebarkan ke masyarakat. Masyarakat di ajak untuk beribadah dan di bangunkan mesjid pertama di Tiro, diatas bukit, dihulu sumur panjang (Buhung Labbua) diHila-Hila. Pengembangan ajaran Islam di Tiro dijalankan oleh I Launru Dg Biasa bersama Dato Tiro dengan jalan damai. Setelah seluruh masyarakat di Tiro secara resmi menerima Agama Islam di Kerajaan Tiro, maka Tiro menjadi salah satu pusat pengembangan dakwah. Dari Tiro, Dato Tiro memperluas pengaruhnya ke arah barat, sekitar pegunungan Kindang dan Tombolo (perbatasan Gowa, Sinjai).

Usaha dakwahnya di perluas ke utara menyusuri pantai sampai ke Bone dan selatan ke Bira, Selayar, Buton, Sumbawa di Basokeng Dato Tiro membina sekolah Agama semacam pesantren sekarang.

Bersama Karaeng Tiro, sistem pengajaran yang di tempuh dengan misi Islamnya yaitu Tasawuf yang lebih menekankan pengalaman bathiniyah. Mengingat kondisi masyarakat yang sangat menyukai faham kebathinan (mistik). Tantangan yang dihadapi Dato Tiro kebiasaan masyarakat yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam seperti minum arak, makan babi, dan senang menggunakan doti (ilmu sihir/black magic) yang menggunakan kekuatan semedi. Ilmu sihir ini merupakan bagian dari sistem kepercayaan PATUNTUNG. Pengikut ajaran Dato Tiro yang walaupun menganut Agama Islam, tetap menghormati konsep budaya leluhur sejauh tidak bertentangan dengan Agama Islam. Mereka tetap mempertahankan konsep penguburan asli leluhur dengan menggunakana nisan MENHIR. Makam I Launru Dg Biasa jauh dari kemewahan sebagaimana sultan di daerah lain. Beliau salah satu raja muslim yang mempertahankan identitas aslinya. Tidak memakai gelar sultan. Berbeda dengan makam leluhurnya Karaeng Sapohatu (Raja I di Tiro) dikuburkan dengan batu tinggi (menhir) di pantai Samboang Bontotiro. Begitupula kuburan Dato Tiro sangat sederhana di Hila-Hila Bontotiro. Walaupun kuburan Dato Tiro sangat sederhana, namun tetap banyak yang datang memanjatkan doa dan nasar serta berwisata religi mulai dari makam Dato Tiro lalu kebuhung Labbua (kolam Hila-Hila) dan ke limbua, dipinggir pantai untuk berenang /mandi.

Setelah Dato Tiro wafat, maka di Kerajaan Tiro dibentuk badan syara’ yang dipimpin oleh seorang Kadhi dan dibantu beberapa staf (pegawai). Kedudukan Kadhi sederajat dengan Karaeng, dengan tugas di bidang agama, seperti pernikahan, kematian dan urusan agama lainnya. Sedangkan pegawainya sama kedudukannya dengan hadat Tiro. Yang menjadi Kadhi pertama di Tiro adalah murid terpandai dan berpengaruh Dato Tiro yaitu ‘To Bating’ Karaeng Ajjanggoka, anak dari Tiro Dg Sirikang, Karaeng Tiro yang ke Selayar.

Setelah Karaeng Tiro ‘Launru Dg Biasa’ lalu diganti oleh ‘Tjabbe Dg Pasugi’, yang digelar Karaeng Kojo (kurus) anak dari Karaeng Tiro ‘Ranggaya Dg Pasugi’ lalu diganti oleh ‘Lantjana Dg Paola’, lalu diganti oleh ‘Mallaheri Dg Mallino’ yang digelar Karaeng Tinrowa ri Buhunga karena kuburannya disana (Erelebu). Setelah beliau diganti oleh ‘Mallurang Dg Mammone’ yang digelar Karaeng Abbeleka (Kurap) anak menantu dari Karaeng Tiro ‘Launru Dg Biasa’. Lalu diganti oleh ‘Mappurang Dg Mammone’ dan diganti oleh ‘Panggila Dg Mallabu’, anak menantu dari Karaeng Tiro ‘Mallaheri Dg Mallino, yang digelar Karaeng Tinrowa Ri Dunnina. Lalu digantikan oleh Karaeng Tiro ‘Panggila Dg Mallabu’ dan digantikan oleh anaknya ‘Lassia Dg Mangatta’ yang di gelar Karaeng Bongoloa (tuli). Digantikan oleh ‘Batola Dg Manangkasi’, anak dari Karaeng Tiro ‘Tjabbe Dg Pasugi’. Setelah Karaeng Tiro ‘Batola Dg Managkasi’ lalu diganti oleh ‘Rona Dg Matasa’, lalu di gantikan oleh ‘Lenggang Dg Mattannang’.


Setelah Karaeng Tiro ‘Lenggang Dg Mattannang’ meninggal, maka ‘Sulewalang Tjabolong’ pergi menghadap kepada Controleur Kajang menyampaikan kematian Karaeng Tiro. Controleur Kajang lalu bertanya: 
Siapa yang akan menggantikan nya sekarang?
Dijawab ‘belum ada’.
Sekarang sudah tidak ada lagi Karaeng di Tiro dan ikutlah dengan Karaeng Bira, mengenai adat dan istiadatmu jalankan seperti biasa dan tidak boleh di atur oleh Karaeng Bira.

Namun keputusan ini tidak dapat diterima oleh rakyat Tiro. Menurut mereka di Tiro tidak pernah ikut atau dibawahi oleh perintah Bira, seperti pernyataan di bawah ini :
Dongko Karaeng Tiro
Djure Gallarrang Bira
Tokalu Munte-Munte (Lemo-lemo)
Tokambang Tanahberu
Koko Batang
Padowe di Ara (Lontara Ara Jintu Karaeng Bonto Biraeng/Ara)

Dan dengan demikian maka jelas bahwa Tiro tidak pernah dibawah perintah Bira. Meski rakyat Tiro keberatan, controleur Kajang tetap melaksanakan keputusannya dan titel/gelar Karaeng Tiro di jadikan Gelarang Tiro, tetapi rakyat tetap mengakui sebagai “Karaeng Tiro”. Dan yang diangkat oleh controleur menggantikan Karaeng Tiro ‘Lenggang Dg Mattonang’ menjadi Gelarang Tiro, ialah anaknya sendiri yang bernama ‘Bacolli Dg Massese’. Inilah Karaeng Tiro yang pertama menjadi Gelarang Tiro. Tetapi beliau tetap menganggap dirinya Karaeng Tiro dan hal inilah yang membuatnya terbunuh di Kajang tanpa diketahui pembunuhnya.

Karaeng/Gelarang Tiro ‘Bacolli Dg Massese’ digantikan oleh ‘Paroto Dg Patangnga’ anak dari Karaeng Tiro ‘Batola Dg Manangkasi’. Dimasa Paroto Dg Patangnga menjadi Karaeng Tiro, maka kalompoang/arajang Tiro disimpan oleh adik perempuannya Rantina Dg Masiang. Rantina Dg Masiang menikah dengan ‘Basunu Karaeng Bantaeng’. Perkawinan mereka semakin memperkuat persahabatan Kerajaan Tiro dan Kerajaan Bantaeng. Jika keluarga Kerajaan Bantaeng datang ke Tiro berziarah/bernasar di makam Dato Tiro, mereka mengambil tempat di Balla Batola Dg Manangkasi, Karaeng Tiro di Domeng. Begitupula saat Karaeng Butung melaksanakan nasar ayahnya bahwa apabila Karaeng Butung sehat dan diangkat menjadi raja Bantaeng, maka ia datang berziarah ke makam Dato Tiro dan menyembelih kerbau. Karaeng Butung melaksanakan acaranya di Balla Batola Dg Manangkasi, tempat kelahiran Karaeng Rantina dan Karaeng Paroto Dg Patangnga. Sebagai bukti kedekatan kedua Kerajaan ini, maka di kampung Hila-Hila, Domeng, Para-Para, nama Karaeng Bantaeng seperti Basunu, Basongeng, Basomang, Butung, didapati nama tersebut pada keturunan Karaeng Rantina Dg Masiang dan Karaeng Paroto Dg Patangnga. Begitu pula nama Ranti dan Rantina pada wanita keturunan Karaeng Rantina Dg Masiang.

Setelah Karaeng/Gelarang Tiro ‘Paroto Dg Patanga’ diangkatlah ‘Compa’ menjadi wakil. Tetapi tidak di setujui oleh controleur Kajang lalu diangkatlah saudaranya ‘Sabarrang Dg Mallabang’. Setelah Karaeng/Gelarang Tiro ‘Sabarrang Dg Mallabang’, beliau digantikan oleh ‘Mallusa Dg Matangnga’, anak dari Karaeng Tiro ‘Rona Dg Matasa’. ‘Mallusa Dg Matangnga’ digantikan oleh ‘Tanra Dg Palilu’. Setelah itu digantikan oleh ‘Muhammad’. Tetapi Muhammad tidak mau tunduk pada perintah Karaeng Bira dan juga tidak mau di gelar Gelarang. Hingga pada suatu malam, ada seorang yang datang minta dibukakan pintu, karena ada surat penting yang dibawa untuk Karaeng. Maka dibukalah pintu oleh Karaeng/Gelarang Muhammad. Setelah pintu terbuka, seorang yang mengaku membawa surat penting sangat tahu bahwa yang membuka pintu adalah Karaeng/Gelarang Muhammad. Maka dia langsung menyerang dan menikam Karaeng/Gelarang Muhammad hingga meninggal dirumahnya sendiri. Dan tidak diketahui pembunuhnya.

Setelah Karaeng/Gelarang Muhammad meninggal, ia lalu digantikan oleh ‘Makkasusa’ anak menantu dari Karaeng/Gelarang Tiro ‘Mallusa Dg Matangnga’. Tetapi tidak lama menjadi Karaeng/Gelarang karena banyak hadatnya yang tidak menyetujui. Lalu beliau diganti oleh ‘Baco Dg Matterru’. Beliau juga tidak lama menjabat sbagai Karaeng/Gelarang, karena tidak disetujui oleh anggota hadatnya. Dan digantikan oleh Dg Suang sebagai wakil. Kemudian diadakan pemilihan antara 2 calon yaitu ; Dg Suang dan Raupung Dg Mattala. Dan yang mendapat suara terbanyak ialah Raupung Dg Mattala, tetapi dia tidak mau menjadi Gelarang. Maka controleur Kajang mengangkat ‘Mappa Dg Mattola’ yang saat itu menjadi mantri cacar dan hanya istrinya yang keturunan Tiro. Menurut keterangan bahwa ia berasal dari Sanra Bone kabupaten Takalar. Beliau juga tidak lama menjabat sebagai Gelarang Tiro karena tidak disetujui oleh anggota hadatnya. Lalu beliau digantikan oleh ‘Tonang Dg Paoha’.

Awalnya dia diangkat jadi Gelarang di Tiro. Tetapi tidak lama kemudian pada tahun 1920 M – 1921 M, maka pangkat/jabatan Karaeng Tiro di kembalikan, karena beliaulah yang dapat mengembalikan distrik Tiro dan memajukannya terutama dibidang Agama Islam. Beliaulah yang pertama mendirikan mesjid di kampung-kampung, begitupula dalam bidang pendidikan yang mulai dirintis dan menjadi awal adanya sekolah yang dulu dinamakan Volk school artinya sekolah rakyat/sekolah desa. Dengan demikian, beliaulah yang mengembalikan pangkat/jabatan Karaeng Tiro, setelah sembilan susunan Gelarang di Tiro. Dan beliau pula Karaeng Tiro yang menjabat sebagai Karaeng lebih dari 30 tahun, hingga beliau meminta diberhentikan karena telah maemasuki usia lanjut.

Pada tahun 1936 M, beliau berhenti dengan hormat atas permintaanya sendiri. Atas jasanya, pemerintah Belanda memberikan “Bintang perak dan tunjangan setiap bulan sampai beliau meninggal dunia. Setelah wafat beliau diberi gelar Karaeng Tinrowa ri Masigina, karena dia dikuburkan dekat mimbar mesjid yang dia dirikan di kampung Basokeng Tiro. Inilah Karaeng yang paling banyak kata-kata nasehatnya yang merupakan falsafah kepemimpinan. Setelah Karaeng Tiro ‘Tonang Dg Paola’, lalu di ganti oleh anaknya yang bernama ‘Andi Abd. Karim Dg Mamangka’. Inilah Karaeng Tiro yang pertama kali memiliki pendidikan yaitu tamatan HIS (Holland Island seSchool/sekolah Belanda di Bantaeng). Dan beliau pula Karaeng Tiro yang paling banyak merangkap jabatan, baik eksekutif maupun legislatif, antara lain :Anggota dewan perwakilan rakyat Sulawesi Selatan, mewakili rakyat onderafdeeling Bulukumba (sekarang kabupaten Bulukumba), sekaligus seorang Karaeng di Tiro.
  1. Anggota pemerintah harian hadat Bulukumba, dan juga merangkap sebagai Karaeng Tiro.
  2. Anggota dewan perwakilan rakyat sementara kabupaten Bantaeng (lama) dan juga sebagai Karaeng Tiro.
  3. Anggota dewan pemerintah harian kabupaten Bantaeng (lama) mewakili onderafdeeling Bulukumba.
  4. Anggota dewan perwakilan rakyat peralihan kabupaten Bantaeng (lama) mewakili rakyat onderafdeeling Bulukumba (sekarang kabupaten Bulukumba).
  5. Anggota pemerintah harian ‘Permesta’ yang dianggap pemberontak pemerintah RI di jakarta sampai dibubarkan, dll.
            BIDANG POLITIK

        Inilah Karaeng Tiro yang memasuki partai politik ‘Masyumi’ sebagai wakil ketua dan pernah menjadi Leider HW (Hizbul Wathan) ranting Tiro dan anggota muhammadiyah ranting Tiro (promotor terbentuknya muhammadiyah ranting Tiro). Pemerintah hindia Belanda sangat marah saat itu, karena beliau sangat aktif dalam organisasi Muhammadiyah. Beliau disuruh memilih untuk tetap jadi juru tulis dikantor Karaeng Tiro (orang tua) atau aktif dalam organisasi Muhammadiyah dan keluar dari juru tulis. Dan saat itu beliau lebih memilih keluar dari juru tulis dan memilih aktif pada organisasi Muhammadiyah. Beliau kemudian pindah ke Bira dan menjadi guru pada sekolah Ibtidaiyah ranting Bira hingga beliau terpilih jadi Karaeng Tiro pada tahun 1936 M. Dan pada saat itulah organisasi Islam dan partai Islam mendapatkan kemajuan. Partai yang pertama berdiri pada distrik Tiro adalah PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) lalu NU (Nahdlatu Ulama) dan Masyumi (Majelis Surah Muslimin Indonesia). Partai yang paling banyak anggotanya ialah Masyumi. Keaktifannya dalam organisasi Muhammadiyah disaat menjabat sebagai Karaeng Tiro, maka pemerintah Belanda merasa tidak senang atas sikap dan tindakannya. Beliau lalu mendapat surat teguran/peringatan yang berbunyi “Onteredenheidsbeteugde” artinya rasa ketidaksenangan pemerintah Belanda atas sikap dan tindakannya tersebut.

             USAHA DALAM BIDANG PEMERINTAHAN

         Yang pertama kali di usahakan adalah bidang pendidikan, kemudian bidang ekonomi rakyat. Pada bidang pendidikan yaitu dengan menambahkan beberapa sekolah rakyat (sekarang sekolah dasar). Setelah beberapa kampung telah berdiri sekolah rakyat, maka dibangunlah sekolah lanjutan yaitu Veroologschool (sekolah sambungan 6 tahun) yang saat itu hanya beberapa distrik yang memiliki sekolah lanjutan (sederajat dengan sekolah dasar 6 tahun sekarang). Beberapa tamatan SD 6 tahun Tiro yang menjadi guru besar (professor) yaitu :
  1. Prof. Dr. Talley dari distrik Ara
  2. Prof. Dr. Arifin Sallatang dari distrik Lange-Lange
  3. Prof. Kamaruddin Siratang MA dari distrik Tiro
  4. Prof. Dr. Tawoni Rahamma MA dari distrik Tiro
Kemudian diusahakan berdirinya sekolah lanjutan pertama (SMP yaitu SMP/Sawerigading/Swasta). Setelah sekolah tersebut berdiri, maka Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama serta PSII mendirikan juga madrasah (sekolah Islam) dan yang paling maju adalah madrasah dari muhammadiyah dan mulailah murid/siswa dari luar distrik Tiro datang belajar/sekolah di Tiro. Begitupun dengan guru, banyak yang didatangkan ke Tiro untuk mengajar. Tiro mulai ramai dengan banyaknya pendatang untuk belajar disana. Setelah ‘Andi Abd. Karim Dg Mamangka’ berhenti menjadi kepala distrik dan beralih menjadi pegawai negeri di kantor pendidikan Agama Bonthain. Beliau mengirim beberapa lulusan SD Sambungan Hila-Hila untuk melanjutkan pendidikannya di PGA 4 tahun di Bojonegoro, PGAAN Malang dan PHIN Yogyakarta. Atas jasanya, maka namanya diabadikan pada TPA yaitu TPA Karaeng Karim Dg Mamangka di Basokeng Bontotiro.            

BIDANG EKONOMI

Untuk memajukan bidang ekonomi, terdapat banyak kesulitan, sebab rakyat tetap berpegang pada apa yang telah didapatkan dari nenek moyangnya. Contohnya : usaha kerbau yang minta diganti dengan usaha sapi, karena sapi lebih produktif dan lebih menguntungkan daripada kerbau. Tetapi mereka tidak menerima saran tersebut. Maka Karaeng Tiro berinisiatif mendatangkan sapi di Tiro sebagai contoh dan untuk membuktikan kepada mereka tentang keunggulan sapi dibAndingkan kerbau. Beberapa waktu kemudian, rakyat dapat melihat secara nyata keunggulan sapi yang lebih produktif, dan juga perkembang biakan dan penggunaan sapi mengolah sawah jauh lebih baik. Akhirnya rakyat pun mau menukarkan kerbaunya dengan sapi. Hingga saat ini, sekitar 80% rakyat Tiro memelihara sapi.

Kemudian dikembangkan tanaman polowijo sebagai barang dagangan seperti kacang dan kedelai. Meski awalnya rakyat Tiro tidak dapat menerima, karena mereka telah memiliki tanaman pokok yaitu jagung, umbi-umbian (ubi jalar, labu) sehingga mereka belum mau menerima yang lain dan mengubah tanaman mereka. Karaeng Tiro yang ingin memakmurkan rakyatnya, mulai menanam kedelai dan kacang tanah yang dapat dijadikan sebagai barang dagangan secara besar-besaran. Dan akhirnya rakyat Tiro mulai menanam kedelai dan kacang tanah, tapi hanya kacang tanah yang cocok dan memberikan hasil yang banyak hingga menaikkan taraf kehidupan rakyat Tiro.

PERJUANGAN KEMERDEKAAN INDONESIA TAHUN 1945

Disaat proklamasi kemerdekaan negara indonesia di proklamirkan di Jawa, maka seluruh rakyat indonesia yang cinta kemerdekaan tanah air nya serentak mengadakan pemberontakan melawan penjajah Belanda di beberapa tempat. Dan distrik Tiro pun tidak mau ketinggalan berjuang. Lalu diutuslah beberapa pemuda untuk dilatih dipusat perjuangan pemberontakan di Polongbangkeng kabupaten Takalar. Yang diutus ke Polongbangkeng dari distrik Tiro adalah Andi Mappijalan sebagai pimpinan (adik Karaeng Tiro), Muh. Hamid Dg Sipato (menantunya), Muh.Supardi (sepupunya), dan Muh.Raba (anak angkatnya). Setelah tiba di Gantarang-Bulukumba, maka bergabunglah dengan para pemuda Gantarang yang juga siap berangkat ke Polongbangkeng yang dipimpin oleh Andi Mapijalan, karena beliaulah yang paling tinggi pendidikannya (beliau alumni dari sekolah taman siswa di Makassar). Mereka berangkat menuju Polongbangkeng untuk mengikuti latihan disana dengan berjalan kaki melewati hutan hingga tiba di Polongbangkeng.

Setelah selesai mengikuti pelatihan diPolongbangkeng, mereka lalu kembali dan membuat kubu pertahanan di sekitar gunung Bawakaraeng di daerah Palioi kecamatan Gantarang Kindang. Mereka mengatur siasat bersama dengan rakyat gantarang untuk merencanakan penyerbuan pos tentara dan polisi dengan mempergunakan senjata granat tangan dan pistol yang hanya jumlahnya. Sedangkan rakyat menggunakan kelewang bagi yang memiliki kelewang tetapi kebanyakan memakai bambu runcing. Dengan persenjataan yang sangat kurang, membuat mereka tidak dapat bertahan lama menghadapi persenjataan yang sangat lengkap dan modern. Dan kubu pertahanan mereka dihancurkan oleh tentara sekutu/NICA, dan banyak dokumen mereka yang disita dan mereka juga ditangkap kemudian di tembak mati dihadapan umum. Diantara dokumen mereka yang disita/dirampas oleh NICA adalah dokumen pembentukan “PRAKTIS (Pemberontak Rakyat Tiro Sulawesi)”, dan nama Karaeng Tiro tercantum sebagai penasehatnya. Hal inilah yang membuat Karaeng Tiro dikenakan tahanan rumah LK 5 bulan, dan juga beberapa kali mendapat pemeriksaan dan penggeledahan. Pemuda Tiro yang ditembak mati di hadapan umum ialah Andi Mappijalan, Abd.Hamid Dg Sipato, dan Muh.Supadi. sedangkan Muh.Raba belum ditembak mati sampai keluar keterangan larangan menembak para tawanan, karena beliau masih dalam tahap pemeriksaan untuk mendapatkan keterangan tentang kedudukan Karaeng Tiro dalam praktis. Atas jasanya, Andi Mappijalan diabadikan namanya pada sebuah jalan di ibukota Bulukumba dan juga lapangan pemuda Andi Mapijalan di Hila-Hila ibu kota kecamatan Bontotiro.

Adapun Muh. Ali Dg Mangalle dan Abd.Rahman Dg Manompo, selama ditahan mereka disiksa tapi mereka lalu dibebaskan karena tidak mengaku bergabung dengan praktis. Semua disangkal karena telah menjadi kesepakatan mereka selama tidak ada bukti pemberontakan yang mereka lakukan. Selama Karaeng Tiro Andi Abd.Karim Dg Mamangka dalam tahanan rumah, 23 kali diperiksa dan 5 kali mendapatkan penggeledahan rumah, tapi tidak ada bukti karena semua dokumennya disimpan dirumah yang lain (bukan dirumahnya).

Pada tahun 1952 M, Karaeng Tiro Andi Abd.Karim Dg Mamangka meminta berhenti dengan hormat menjadi Karaeng di Tiro, dengan pertimbangan bahwa gajinya tidak akan berubah, sebab status/kedudukan Karaeng pada waktu itu tidak sama dengan kedudukan pegawai negeri. Gaji Karaeng tidak dapat dinaikkan, berbeda dengan gaji pegawai negeri. Setelah permohonan berhenti menjadi Karaeng Tiro, beliau pindah bekerja pada jawatan pendidikan agama kabupaten Bantaeng (lama) yang berkedudukan di Bulukumba. Beliau menjabat selama ± 6 tahun. Pada tahun 1959 M, beliau bergabung dengan pamong praja, yang awalnya di tempatkan di Bantaeng (lama). Setelah terbentuk kabupaten Bulukumba, beliau lalu di pindahkan keBulukumba. Kemudian pada tahun 1962 M, beliau dipindahkan ke kantor Gubernur kepala daerah propinsi Sulawesi Selatan Tenggara hingga beliau pensiun pada tahun 1971 M (pada bulan juni) sebagai Bupati.

Setelah Karaeng Tiro Andi Abd.Karim Dg Mamangka mengundurkan diri, beliau lalu digantikan oleh keponakannya yang bernama ‘Andi Muh.Amin Dg Matino’. Beliau sangat dekat dengan masyarakat dan banyak mengetahui kondisi kehidupan masyarakat yang semakin membuat beliau terinspirasi mengemban jabatannya kedepan. Pada masa Karaeng Tiro inilah distrik Tiro semakin maju dan perkembangan ekonomi pesat. Perkembangan ekonomi didapatkan dari hasil kopra, kacang tanah dan jeruk manis, yang membuat banyak pedagang yang masuk ke Tiro melakukan perdagangan.

Dalam mengawali karirnya sebagai kepala distrik Tiro, beliau memprioritaskan program kerja yang menekankan pada :
  1. Peningkatan kesejahteraan rakyat
  2. Pembangunan infra struktur
  3. Pemerataan pendidikan (Sekolah Rakyat 6 tahun)
  4. Peningkatan derajat kesehatan/perbaikan lingkungan hidup.
Dalam sektor peningkatan kesejahteraan masyarakat, beliau fokus pada peremajaan pohon kelapa dengan menginstruksikan kepada masyarakat untuk melakukan pembibitan dan di tanam pada area yang tidak termasuk lahan pertanian/perkebunan. Selanjutnya kelapa yang sudah tua diganti dengan bibit yang baru/peremajaan. Pohion kelapa tersebut di utamakan di tanam pada sepenjang Pesisir teluk Bone serta tanah kapur yang tidak produktif. Dengan pelaksanaan peremajaan dan penanaman bibit baru kelapa tersebut, maka dalam jangka waktu beberapa tahun Tiro dikenal sebagai wilayah yang paling banyak menghasilkan kopra, yang sebagian besar di kirim ke Jawa dengan menggunakan perahu.

Untuk meningkatkan hasil tanaman jagung dan kacang tanah, masyarakat di berikan motivasi dan juga bimbingan untuk menggunakan pupuk kandang (kotoran/tinja kuda) yang banyak ditemukan di wilayah Batang, Bontotangnga hingga ke distrik Lange-Lange. Ternyata penggunaan pupuk tersebut memberikan hasil yang berlipat ganda. Hanya saja memerlukan kerja keras dan ketelatenan, sebab setiap jagung dan kacang tanah harus diberi pupuk. Sampai saat ini kacang tanah yang berasal dari Tiro yang di tanam pada tanah yang berwarna merah, masih terkenal sebagai kacang tanah yang memiliki kualitas terbaik di Sulawesi Selatan.

Di bidang pembangunan infra struktur, diprioritaskan pada perbaikan jalanan serta pembuatan jalanan baru yang menghubungkan antara kampung dalam wilayah distrik Tiro, untuk menjamin kelancaran arus transportasi dengan tujuan mempermudah pemasaran hasil perkebunan.

Pada sektor pendidikan, diupayakan mendirikan sekolah rakyat negeri 6 tahun pada tempat yang strategis, seperti Kalumpang, Salabundang, dan Basokeng. Dengan demikian, setiap usia sekolah yang berada diseluruh wilayah distrik Tiro dapat di tampung pada sekolah tersebut, dan juga untuk memberi dampak bertambahnya guru yang akan ditempatkan di Tiro.

Sekolah rakyat tersebut menjadi cikal bakal kelahiran sekolah negeri pada setiap kampung dalam area distrik Tiro. Dan lulusannya banyak melanjutkan pendidikan di SGB negeri dan SMP negeri di Bonthain.

Pada program peningkatan derajat kesehatan dan perbaikan lingkungan hidup. Karaeng Tiro Andi Muh.Amin Dg Matino memotivasi para keala kampung untuk mendirikan Balai Pengobatan dan menganjurkan masyarakat membuat jamban keluarga permanen setiap rumah. Beliau juga mengirim anak muda untuk dilatih bidang kesehatan (pencegahan, pengobatan, dan peningkatan kesehatan) di kantor Rumah Sakit Bulukumba selama 3 bulan. Dan juga diadakan pelatihan dukun beranak di Tiro. Siswa lulusan SMP di anjurkan masuk sekolah bidan dan perawat di Makassar, untuk menjadi tenaga kesehatan nantinya di balai kesehatan yang telah dibangun di Tiro.

Setelah dewan perwakian rakyat kabupaten Bulukumba terbentuk, lalu mengangkat anggota BPH (Badan Pemerintah Harian) yang bertugas membantu bupati kepala daerah Bulukumba. Bupati kepala daerah Bulukumba harus di dampingi oleh 3 orang BPH. Andi Sappewali AS Karaeng Gantarang kepala distrik gantarang, A. Abd.Syukur Karaeng Tanete kepala distrik Bulukumba towa, dan Andi Muh.Amin Karaeng Tiro kepala distrik Tiro. Saat Andi Muh.Amin menjadi anggota BPH Bulukumba, beliau mengangkat iparnya A.Muh.Nur Dg Macora sebagai pejabat kepala distrik Tiro (hingga dibubarkan distrik di Sulawesi Selatan). A.Muh.Nur Dg Macora kemudian manjadi pegawai kecamatan Bontotiro dan melanjutkan pendidikannya di APDN Makassar. Setelah lulus, beliau di tugaskan di pemda kab. Bulukumba. Dan setelah pensiun, A.Muh.Nur Dg Macora menjadi ketua Golkar di Bontotiro dan anggota DPRD kab. Bulukumba.


9 komentar:

  1. Maaf setahu saya Andi.muhammad Amin kepala distrik.terakhir dan camat pertama Ditiro.seiring semba terakhir dan gubwrnur pertama Lanto dg. Pasewan gitu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bila didasarkan pada SK bupati Bulukumba Andi Patarai no. Pem.31/1961 tgl 25 Mei 1961, Andi Muhsmmad Nur diangkat oleh Bupati sebagai Kepala Distrik Tiro menggantikan kakak iparnya (sepupu sekalinya) andi Muh. Amin

      Hapus
  2. Kementar diatas dari saya Andi.Ismail di Batam

    BalasHapus
  3. memutar balikkan sejarah, sejak kapan ada kerajaan Tiro dan siapa Rajanya. Kalau emang ada Raja di Tiro itu sebelum penjajahan atau diera penjajahankah, mohon pencerahannya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makanya pahami baik2 sejarah di atas baca baik2 jngan asal baca saja

      Hapus
  4. Ini lebih teratur dari pada yang Bohe cerita

    BalasHapus
  5. Hard Rock Hotel & Casino - Dr. Maryland
    Located 보령 출장안마 in Atlantic 경상북도 출장샵 City, Hard Rock 서귀포 출장샵 Hotel & Casino features spacious hotel rooms 보령 출장샵 with views of the 김포 출장안마 Atlantic Ocean, along with a bowling alley and an indoor pool.

    BalasHapus
  6. Kalau boleh tau siapa nama nama siswa yg di kirim Andi abd karim dg mamangka untuk bersekolah PGA di bojonegoro ? Apa betul salah satunya ada org tua kandung sy, Almarhum H. Idrus BA ? 🙏🙏

    BalasHapus