Minggu, 29 Januari 2017

BAB II: KERAJAAN TIRO PADA MASA I TOA

           Kerajaan TIRO terletak di Pesisir selatan teluk Bone wilayah Timur Bulukumba, luasnya 14,48 KM², dengan keadaan tanah berbukit-bukit, dataran rendah di Basokeng. Masyarakat/penduduk Tiro hidup dari bidang pertanian, perikanan, perdagangan/perantau. Kerajaan Tiro mempunyai dua pelabuhan di muara sungai Basokeng dan Biropa/Para-para disisi kiri ujung Tiro. Kerajaan Tiro berbatasan dengan Kerajaan Lange-Lange, Kerajaan Batang, Kerajaan Tanah Beru dan Kerajaan Ara.

            Tiro berasal dari kosa kata bahasa, hingga menjadi wilayah/tempat. Jika Tiro ditempatkan dalam bahasa (kata/kalimat), maka maknanya dalam bahasa Konjo adalah memandang sesuatu yang baik/indah (suri teladan). Di pandang dari segi tempat, maka Tiro puncak yang tinggi. Tapi yang pasti, Tiro dikenal sebagai Kerajaan kecil dengan struktur pemerintahan tersendiri. Saat ini Tiro masuk dalam wilayah kecamatan Bontotiro kabupaten Bulukumba. Sebelum ada struktur pemerintahan yang mapan, Tiro belum dikenal sebagai Kerajaan, maka daerah itu terbagi beberapa wilayah kecil berbentuk dusun yang di perintah oleh seseorang dengan gelar Barumbung/semacam kepala suku (nama-nama yang pernah menjadi Barumbung dan tempat yang diperintahnya tidak ditulis dalam Lontara). Yang ada hanya keadaan secara umum, yaitu setiap Berumbung mempunyai otonomi penuh atas wilayahnya masing-masing.  Tali persaudaraan antara barumbung terjalin sangat erat hingga tidak pernah terjadi pertumahan darah antara mereka.

            Pada Suatu masa, musim kemarau panjang melanda wilayah tersebut, Para Barumbung berembuk untuk keluar dari masalah tersebut. Para Dukun (sanro) dan Paranormal (Panrita) dikumpulkan  namun tidak ada yang mampu menangani masalah tersebut. Keadaan ini berlangsung cukup lama hingga datang TAU LANGI’ (Orang  dari Langit). Konon kedatangan Tau Langi' terlebih dahulu terdengar gelegar Petir di siang hari yang terik saat itu tanah bergetar seperti terjadi Gempa, kemudian datanglah Pelangi dimana pada ujung Pelangi tersebut terbersit cahaya yang terang. ujung pelangi  yang memancarkan cahaya putih  tersebut diatas bukit yang cukup tinggi dan ujung satunya sampai ke suatu wilayah yang di sebut Kajang sekarang. Orang-orang geger  karena tiada hujan kenapa ada pelangi di siang  nan terik Kepala Suku dan penduduknya berlari ke atas bukit tersebut, mereka kaget tatkala  melihat ada lelaki yang duduk diatas batu (Tempat duduk tersebut di jadikan PALLANTIKANG tempat melantik Karaeng/Raja di Tiro) seluruh  badan lelaki itu  memancarkan  cahaya, kemudian terjadilah percakapan antara Orang yang memancarkan cahaya tersebut dengan kepala suku di saksikan oleh  penduduk yang hadir  di tempat itu  :
BARUMBUNG     : “  Anda siapa, Darimana dan sedang apa disini ?“
TAU  LANGI'        : “ Namaku I Toa Buru’ne, asalku dari langit  “.
BARUMBUNG     : “ Sedang Apa disini dan mau kemana ? “
I TOA               :  “ Aku sedang menunggu istriku I HULAENG MAPUTE   dari Possi Tanah itu (sambil menunjuk sebuah lobang yang amat dalam di dekatnya. Lobang ini dikenal dengan nama Possi Tana)  dan Tiro  i (melihat dari jauh) adik perempuanku diseberang sana. Kamase mase  kodong (adik perempuannya yang bernama Kamase mase tersebut ternyata muncul di seberang sana yang saat ini dikenal dengan nama KAJANG ).

Tidak lama kemudian muncullah perempuan cantik dari Possi Tana yang merupakan  istri I TOA BURU’NE. Perempuan itu bernama HULAENG MAPUTE (Hulaeng “Bercahaya seperti Emas” tapi ada juga yang mengatakan bahwa badannya penuh dengan Emas, Mapute “Kulitnya putih”) yang di beri gelar oleh orang Tiro “BUNGA BIRAENG NA POSSITANA”.  
BARUMBUNG       : “Jika betul  anda dari langit tolong turunkan hujan di wilayah ini
I TOA              : “Aku tidak bisa berkata pasti, tapi aku akan berusaha dan jika aku mampu menurunkan hujan apa balasan kalian?
           
            Para Kepala suku berembuk dan kemudian akhirnya mereka mengeluarkan keputusan.
BARUMBUNG       : “Jika kau mampu menurunkan hujan, maka kami akan mengangkatmu sebagai  Raja kami”
I TOA                        :Baiklah, tapi ada syaratnya”
BARUMBUNG        : “ Apa Itu ?
I TOA                    : “Kalian harus menyiapkan kerbau yang paling gemuk tanpa cacat dengan tanduk yang melingkar panjang, serta kumpulkanlah rakyatmu dengan membawa alat makan, alat pertanian dan gendang  batu.”  

ASAL MULA BATU GANRANG

Demi menurunkan hujan maka Para Barumbung (kepala suku) dan rakyat bahu membahu tuk menyiapkan persyaratan dari I Toa. Setelah di adakan pengecekan ternyata ada satu benda yang tidak ada di wilayah itu, mereka lalu mencari gendang dari batu tapi usaha mereka ternyata sia-sia, lalu  di utuslah satu orang Barumbung untuk menyampaikan masalah itu kepada I Toa. 
BARUMBUNG        : “Di antara persyaratan itu hanya satu yang tidak mampu kami  bawakan  yaitu gendang dari batu       
 I TOA                        : “Kalo begitu, biarlah aku yang akan mengusahakan gendang batu tersebut, aku akan bersemedi untuk meminta kepada penguasa langit agar menurunkan gendang batu yang ada di langit”.  

   Akhirnya Barumbung yang menjadi utusan pulang dan menyampaikan kepada para Barumbung/kepala suku lainnya. Mereka  melakukan pembagian tugas pengadaan alat atau barang sebagai  persyaratan  untuk mengadakan  upacara minta hujan. Para Kepala Suku  memerintahkan semua rakyat di wilayahnya masing-masing  agar datang ke Tempat I Toa ke esokan harinya dengan membawa peralatan makan atau alat pertanian. Kerbau yang di inginkan oleh I TOA BURU’NE  telah di dapatkan. Malam harinya I TOA akhirnya bersemedi. Dalam semedinya beliau diberi petunjuk bahwa gendang tersebut  bisa di turunkan dari langit tapi harus di letakkan di wilayah yang bisa menghubungkan Tiro dan Kajang (dalam bahasa Konjo SALU ri Tiro SALU ri KAJANG artinya terdengar ke TIRO  dan ke KAJANG atau di dengar oleh orang-orang di wilayah I Toa dan I Kamase masea). Karena  I Toa yang minta maka gendang batu tersebut jatuh di Wilayah kekuasaan  I TOA. Gendang tersebut akhirnya jatuh di  suatu tempat  yang di beri nama Salu-Salu sampai sekarang  (Wilayah Gendang Batu tersebut  sekarang  masuk  ke dalam wilayah Desa DWI TIRO Kec. Bontotiro). Turunnya gendang dari batu tersebut di iringi oleh seorang pengiring yang akan memukul gendang tersebut. Orang yang mengiringi gendang tersebut diberi nama Panrita Pa’Pikatu.

Keesokan harinya Para Barumbung menghadap lagi ke I Toa,
Barumbung   : “bagaimana Toa, apakah gendang dari batu itu telah ada?”
I Toa               : “kirimlah utusanmu ke bukit yang di seberang sana (sambil menunjuk )
Barumbung   :  “apakah di sana tempat gendang batu itu?”
18
I Toa         : “Iya, atas kebesaran to tamma lino (Tuhan)  maka gendang itu telah ada utuslah orangmu ke bukit itu, utusan itu harus mambawa kain yang panjang dan lebar serta membawa ayam.  Sampaikan juga salamku kepada Panrita pa’pi katu bunyinya “I Toa ri pa’Tiroang tamma toa ri tan jatamma labiri ri pau-pau tamma lolo ri panggaukang tammma pi katu ri cappa lila lanring na tajang na pan rita Pa’ pikatu” (Tua di tempat tertinggi,tapi jangan hanya tua karena wajah sementara ucapan tidak berbobot jangan juga muda dan gagah sehingga segala tindak tanduk di mudahkantidak berucap di lidah jika perasaan dan tindakan tidak menyatu, yang mampu menyampaikan pesan hanya Panrita Pa’pikatu).

Maka di utuslah beberapa orang ke tempat Gendang Batu tersebut, ketika utusan itu akan  sampai mereka kaget karena bertemu dengan utusan dari Kamase-masea, akhirnya mereka bersama-sama menghadap ke tempat gendang itu. Sesampainya di sana,
Panrita Pa’pikatu              : “ Siapa Kalian ? “
Utusan Kamase-masea     : “I Toa ri pa’Tiroang tamma toa ri tan ja tamma labiri ri pau-pau tamma lolo ri panggaukang tamma pi katu ri cappa lila lanring na tajang na pan rita Pa’ pikatu”
Utusan Kamase-masea    : “Kamase ma sea malolo ri tanja tamma lolo ri panggaukang tamma pi katu ri cappa lila lanring na tajang na pan rita Pa’ pikatu”
Panrita Pa’pikatu            : “Pa’pikatu ri anging pa’mai jannang ri nyaha toa kamase masea na i kamase-masea a toa salu papikatu naku salu ri salu ma’salu. (Pesan akan kusampaikan lewat angin ke semua mahluk yang bernyawa I Toa dan Kamase-masea bersaudara, tidak bisa di pisahkan pesan ini harus pasti dan yang mendengarkan adalah orang yang layak/di tujukan).

Kemudian kedua utusan itu di perintahkan untuk membungkus gendang batu itu dengan kain yang mereka bawa, gendang tersebut dibungkus dengan dua warna kain yaitu putih kain utusan dari Itoa dan hitam kain utusan dari Kamase-masea. Setelah gendang tersebut di bungkus maka ke dua utusan itu di perintahkan untuk melakukan upacara penyembelihan hewan tapi sebelumnya mereka harus mengelilingi gendang tersebut sebanyak tiga kali. Darah ayam yang di korbankan di percikkan ke gendang tersebut.

Sampai saat ini Gendang batu tersebut masih bisa di lihat di (Salu-Salu Desa Dwi Tiro Kec.Bontotiro Kab.Bulukumba), namun penutupnya sudah tidak ada. Konon penutup itu hilang dan suatu saat akan kembali. Gendang batu ini di  pukul oleh Panrita Pa’pikatu  memakai tangan kosong, suaranya akan terdengar kemana saja sesuai keinginan dari Panrita Pa’pikatu.

BATU GANRANG

Ganrang batu ma’sa’ra latte
Ni pa turung a’jari papikatu  ri tau ma’lino nu ni kangkang nga ri tau ma’ si ana’
I PUANG TOA BURU’NE na AMMA’ TOA KAMASE MASEA
Ma’lino ko na saba tau lino a’pala’ ri ma nassaya lino tamma lino
Ni pi nahang ri Panrita pa’pikatu
Ni hasa ri rara jangang le’leng na  jangang pute
Ni kalimbu ki Lipa’ le’leng na pute
Le’leng na pute pa’ linoang
Le’leng na pute ma’ siana’ ri batang kale si kalabbiri ri ati
Latte batu ganrang ma’ pi hattu
Allo lattena I PUANG  TOA BURU’NE
Bang ngi Latte’ na AMMA’TOA KAMASE MASEA
Punna  si laloi hattunna Possi Tana pa’ la’po kan nang

PATURUNG BOSI

Keesokan harinya  Kepala Suku dan Rakyat  berkumpul di Tempat I TOA, mereka membawa peralatan makan dan pertanian serta kerbau satu ekor .
 I TOA     : “Saat Saya bersemedi di atas batu ini. Tolong Kalian teteskan  darah kerbau itu  ke Possi Tanah dan   bakar kerbau itu asap yang di keluarkan oleh kerbau itu adalah tanda buat Panrita Pa’pikatu untuk memukul gendangnya di wilayah yang ku beri nama Salu-Salu (Salu dalam bahasa indonesia adalah  saluran) yang berarti saluran ke I TOA  dan Saluran ke Kamase masea. Setelah itu kelilingilah possi tanah itu sambil memukul  alat makan dan pertanian yang kalian bawa” (Pembakaran kerbau dalam bahasa Konjo di sebut A’rambu tedong).

Setelah memberikan petunjuk I TOA kemudian bersemedi, saat I TOA bersemedi maka Kepala Suku dan Rakyatnya melakukan ritual sesuai petunjuk I TOA. Setelah kerbau di ambil darahnya untuk  di teteskan di possi tanah kemudian di bakar. Saat kerbau di bakar Kepala Suku dan Rakyatnya kaget mendengar suara gendang yang memekakkan telinga, ternyata itulah suara dari Gendang  Batu yang di pukul oleh Panrita Pa’pikatu. Suara gendang ini di dengar sampai ke Kajang. Kepala Suku lalu memberi komando agar rakyatnya mengelilingi Possi Tanah sambil memukul alat makan dan pertanian. Sebanyak  tujuh putaran datanglah mendung yang di iringi kilat dan suara petir, hujan lalu membasahi tanah. Saat itu juga Kepala suku dan rakyatnya  bersujud  di  hadapan  I TOA. 
Kepala Suku dan Rakyatnya    : “Mulai saat ini engkaulah junjungan  Kami
 I TOA     : “Baiklah aku terima sembahmu. Mulai saat ini wilayah ini ku beri nama Tiro (Panutan) dan bukit ini ku beri nama Pattiroang (tempat untuk melihat atau mengintropeksi diri) 

Tempat turunnya I Toa Buru’ne di kenal dengan Pattiroang di sana ada dua tempat yang di sakralkan yaitu Pallantikang (Batu tempat duduknya I Toa Buru’ne yang kemudian berubah menjadi tempat melantik Raja/Karaeng di Tiro) dan Possi Tanah (tempat keluarnya I Hulaeng Mapute) Serta ada juga Kuburan Raja/Karaeng Tiro Yang pertama masuk Islam yaitu Launru Daeng Biasa.

Dalam catatan Lontara tempat ini kadang juga di kenal dengan nama bukit kilat. Hal ini disebabkan  saat I Toa Buru’ne turun ke Tempat itu ada cahaya kilat dari tempat itu serta  disana kita selalu melihat kilat saat malam hari. 

Satu hal yang sangat menarik adalah sejajarnya tiga tempat yaitu Pattiroang, Pa’Laharrang Bahia dan Batu Ganrang. Hal ini bisa dibuktikan  Jika kita berdiri dan memandang dari  Pattiroang maka  Tiga tempat yaitu Batu ganrang, Pa’laharrang bahia dan Pattiroang  bisa kita lihat garis lurusnya, dan kemungkinan besar Possi tanah di Kajang juga.

ANRONG  BATARA  DAN PA’LAHARRANG BAHIA

Setelah hujan turun membasahi tanah di wilayah Tiro maka timbul lagi masalah karena tidak ada  bibit tanaman yang akan di tanam. Tapi istri I TOA BURU’NE mampu memberikan jalan keluar, karena beliau adalah puteri TO Ma’butta Tanaya (Orang yang hidup di alam bawah tanah). Maka di adakanlah upacara untuk mendatangkan bibit. Upacara tersebut dilakukan sendiri oleh I HULAENG MA PUTE BUNGA BIRAENG NA POSSI TANAYA. Malam harinya I Hulaeng mengadakan upacara saat itulah dia menerima semacam petunjuk (Wangsit) “Akan ku kabulkan permintaanmu anakku, akan saya lengkapi semuanya, karena permintaanmu sebenarnya penuh kekurangan. Besok pagi saat hujan, tataplah dari Possi Tana (Nama Bukit) dimana wilayah/ tempat terbuka yang tidak basah oleh air hujan”.


Demikianlah keesokan harinya hujan pun turun dan nampaklah sebuah lembah yang tidak terlalu luas tidak basah oleh hujan. Kemudian I toa beserta istrinya dan rakyat mendatangi tempat/lembah tersebut. Saat rombongan itu sampai, maka tampaklah seseorang berdiri di kelilingi oleh bibit jagung, bibit ketela, babi serta peralatan makan dan perhiasan dari emas. Orang yang berdiri tersebut adalah Panrita Lamung-Lamung. Saat bibit akan di bagikan maka diadakanlah upacara dengan memotong dua ekor babi diatas batu berlubang. Batu berlubang tersebut bentuknya seperti lesung, darah babi yang di tampung dalam batu tersebut di campur dengan air. Campuran antara darah babi dan air tersebut di percikkan ke bibit tanaman yang akan di tanam. Sementara daging babi di olah di dalam batu yang berlubang itu menjadi suatu masakan yang di sebut LAHARA. Bibit yang telah di ambil oleh masyarakat tersebut kemudian di tanam seperlunya dan sisanya akan di simpan dan dijaga baik-baik. Karena bibit ini asalnya dari Batara maka di berilah nama Anrong Batara atau induk/bibit dari Batara. Bibit ini di simpan di atas loteng rumah yang setiap waktu tertentu di beri sesajian.
Sebelum pembagian bibit ada beberapa pesan yang di sampaikan oleh Panrita lamung-lamung yaitu :
1.      Bibit ini adalah pemberian Batara makanya jangan di sia-siakan.
2.  Saat musim tanam datang maka tidak boleh menurunkan/menanam tanpa ada perintah dari Panrita Lamung-Lamung.
3.  Babi yang mengganggu tanaman tidak boleh di bunuh selama itu masih wajar, tapi jika itu berlebihan berarti ada pantangan/aturan yang dilanggar, yang akan dilakukan oleh pemerintah atau rakyatnya.
4.     Jika jagung telah tumbuh subur di lahan/kebun masyarakat,maka harus diadakan 2 kali upacara yaitu Upacara makan jagung muda (Angnganre Lolo) dan upacara panen ( Pannyappe ).
5.  Dilarang memperjual belikan buah jagung muda karena itu saat upacara Angnganre Lolo masyarakat yang butuh hanya minta kepada pemiliknya.
6.    Siapa yang tidak menanam jagung di larang untuk ikut upacara Angngangre Lolo dan yang tidak berhasil saat musim tanam harus melapor ke Panrita Lamung-Lamung.

Selanjutnya tempat ini selalu ramai saat musim panen dan musim tanam. Tempat ini kemudian bernama Pa’laharrang bahia (Tempat Memasak Babi). Babi yang di bawah oleh Panrita lamung-lamung di buatkan kandang di suatu lembah yaitu La Domeng. Makanya orang Tiro memberi nama kepada babi yang besar dan gemuk dengan nama bahi La Domeng. Sementara alat makan dan perhiasan yang di bawa bersama bibit tanaman jagung oleh Panrita lamung-lamung di simpan di sebuah liang di dekat tempat Pa’laharrang Bahia. Alat makan itu di pakai oleh siapa saja masyarakat yang akan menjamu raja. Perhiasan itu di pakai saat upacara di Pa’laharrang Bahia oleh orang yang di tunjuk oleh Panrita Lamung-Lamung. Itulah yang di sakralkan darahnya di ambil Raja dengan meminta kepada Anrong Batara bibit yang akan di tanam namun sangat di sakralkan. Dari segi bahasa Anrong adalah ibu/induk, sedangkan Batara adalah orang langit yang sangat di sucikan karena dia adalah penentu kehidupan di dunia. 

ANRONG BATARA/PA’LAHARRANG BAHIA

Ma’kung raring tau ma’ lino
Nang mi nahang pau-pau pa’pikatu katalassang
Tinangnang ang sulu’ sa’ri
Olo’-olo’ run’resa ri bara tala ala’
Pa’pala ma’lino mange ri tala linoa
Na ku lambusi pasang ma’lino ri batu bo’dong  Anrong Bataraya
Ku pa’lino Panrita lamung-lamung
Ku pasi kambara anrong Batara
Ku pi je’neki rara na la Domeng
Ku pa’nassa a’jari tinannang ri linoa
Anrong Batara pa tinroi ri palangka lamung-lamung
Pa’ka kasa koko pa ene I ri ranjang palangka lamung-lamung
Pang nganreang pa sepei ri sa’ri  batu bo’dong.
Pi katui ri kalibBirang pi runrungi pau-pau tamma lino.
Anrong Batara adalah benih tanaman jagung

ANRONG TAU

Kata ini merupakan gelar sekaligus jabatan. Anrong (Ibu), Tau (Manusia). Ditinjau dari tugasnya maka penjabaran dari Anrong Tau adalah tempat kita mendapatkan kehidupan. Di dalam Lontara Pattiroang tidak di sebutkan kisah konkrit tentang Anrong Tau namun hanya membahas bahwa jika panen rakyat Tiro gagal, maka Anrong Tau lah tempat untuk mengambil beras atau makanan.

KUBURAN TO TIRO (Kuburan Orang Tiro)

Turunnya I TOA BURU’NE dan KAMASE MASEA ke bumi karena adanya pertentangan paham antara mereka. I TOA BURUNE mengatakan “Hati yang menggambarkan dan raga yang melakukan”. Sementara KAMASE MASE menganggap hati saja yang menentukan, Raga tidak usah dilibatkan karena itu sifatnya kasar dan akan membuat kita bersifat sombong dan senang di puji. Pertentangan ini kian memanas hingga pada suatu hari terjadilah adu fisik. Hal ini membuat Raja Langit (BATARA) turun tangan untuk mendamaikan ke dua anaknya. Namun tidak ada penyelesaian sehingga raja langit marah dan mengutuk mereka ke BUMI. Mereka tidak akan bisa kembali ke langit kalau makna dari pertentangan itu belum ada penyelesaiannya. Sebelum turun ke bumi mereka dibekali ilmu sebagai bekal dan I Toa meminta agar istrinya di bawa serta. Karena Istri I toa adalah puteri Kerajaan Bawah Tanah maka dia muncul dari bawah Tanah.

Setelah I Toa dan Kamase Mase mendapatkan makna dari pertentangan mereka akhirnya Raja Langit mengangkat mereka kembali ke dunia langit. Konon I Toa Buru’ne, istrinya dan saudaranya (Kamase mase)  Kemudian Lenyap (Mallayang). Pemerintahan diserahkan kepada anaknya dengan gelar yang sama (I TOA).

Jejak Mallayang dari I Toa Buru’ne di ikuti hingga turunan ke tujuh nya. Saat turunan ke delapan nya meninggal dunia dia tidak mallayang. Para Panrita dan Sanro melakukan semedi minta petunjuk. Maka turunlah wangsit agar dikuburkan di liang batu, karena jika di kuburkan di tanah maka raja langit marah dan jika di kuburkan di langit maka raja tanah akan marah. Hal ini berlangsung cukup lama hingga pemerintahan SAMPARAJA DAENG MALAJA. Dalam Lontara Pattiroang tidak di sebutkan turunan ke berapa  SAMPARAJA DAENG MALAJA, didalamnya hanya tertulis “tamma tappu  tamma ni pau, Pattin roang sannang ri liang batu ni gaukang ngi ri empoang mallayang na I toa, tala ku pahua ri pasang ma’nassa’na mat tinro a ri liang batu, iya ji ku pa’nassa i  na pam’bu a’ ki Samparaja daeng Malaja (amat banyak dan tidak mampu disebutkan satu persatu kuburan di liang batu untuk turunan I Toa, hingga yang terakhir Samparaja Daeng Malaja).

Selanjutnya Lontara Pattiroang Memuat (nakke Batara tana ya, ku sare ko kasannangngang beru ka to langi a’pikatu ri empoang mallayangang na i toa, ku sare ko tana pattinroang majannang nu ri tana bonto kila’, ku era ri katallassang na ma’lino nu palemba i mange ri empoang tinro nu a cidong ko ri tinro jannang nu nanu Tiro tamparang tamma’laj jua pa’mai), artinya “Saya Dewa tanah, memberikan izin kepada kalian untuk menguburkan di dalam tanah kepada siapapun yang meninggal, karena raja langit telah menyetujuinya, kuburkanlah diatas bukit kilat bersama barang-barang atau harta kekayaanmu di dunia, agar kau tenang di kuburmu, duduklah saat di kuburkan sehingga kau mampu melihat indahnya laut biru tanpa jenuh”.

Tidak disebutkan Berapa turunan I Toa memerintah Di Kerajaan Tiro hingga masa Pemerintahan Samparaja Daeng Malaja Karaeng Sapo Batu. Pada masa Pemerintahan  Samparaja Daeng Malaja, maka gelar I Toa di rubah menjadi  Karaeng.
Kerajaan Tiro mempunyai Kalompoang/ Arajang berupa :
1.      Bendera merah kuning hitam
2.      Tombak bermata dua
3.      Tongkat berkepala burung elang
4.      Boneka burung nuri berlapis emas
5.      Perangkat makan, sirih berlapis emas.

            Kerajaan Tiro mempunyai tujuh hadat yaitu :
1.      Lompo Erelebu
2.      Gallarang Kalumpang
3.      Anrong Tau Caramming
4.      Kepala Hila-Hila
5.      Karadepa Salamunte
6.      Karabica Salu-Salu
7.      Matoa Basokeng


Bertugas memilih kepala pemerintahan/Karaeng Tiro dan memberi saran dan pertimbangan, serta melaksanakan tugas  Karaeng Tiro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar