Minggu, 29 Januari 2017

BAB I: TIRO BAGIAN MASYARAKAT KONJO DI SULAWESI SELATAN

Kata KONJO berarti “Disitu”. Masyarakat Konjo mendiami daerah perbatasan desa-desa yang berbahasa Bugis dan Makassar. Masyarakat suku Konjo terdiri atas dua kelompok yaitu KONJO PEGUNUNGAN, mendiami daerah pegunungan kabupaten Barru, Pangkep, Maros, Gowa, Bone, Sinjai dan Bulukumba di sekitar pegunungan Latimojong dan KONJO PESISIR mendiami dataran rendah kabupaten Bulukumba di Pesisir teluk Bone.

Mengacu pada sensus penduduk tahun 1930, Konjo Pegunungan berpenduduk sekitar 100.000 jiwa, perkiraan sekarang sekitar 150.000 jiwa. Sedangkan Konjo Pesisir sekitar 100.000 jiwa, perkiraan sekarang 150.000 jiwa.

Masyarakat Konjo berbahasa Konjo. Dialeknya 75% hampir sama bahasa Makassar, sehingga disebut juga bahasa Konjo Makassar.




Masyarakat Konjo Pesisir di kabupaten Bulukumba menyimpan bentuk perasaan satu identitas etnolinguistik, khususnya dalam konteks politik lokal (menunjuk diri “Turate”/orang diatas). Masyarakat Bugis Bulukumba menyebut tupole diase (orang dari atas). Mereka menganggap diri mempunyai seni budaya yang tinggi seperti tari, gendang, sinrili, dan ahli menenun kain (Kajang, Bira) serta membuat rumah, perahu, seperti perahu PINISI sehingga kabupaten Bulukumba di sebut juga Kab. Butta Panrita Lopi. Sejak abad ke 12 Kerajaan Konjo Pesisir telah memiliki hubungan yang erat dengan Kerajaan besar seperti Sriwijaya, Kediri, Majapahit, dan beberapa Kerajaan di Afrika Timur, Eropa Barat, Timur Tengah, Asia Selatan, dan Timur. Ini dapat di buktikan dengan banyaknya keramik Cina di temukan di Tiro, Ara, Bira (Thomas Gibson, Kekuasaan Raja, Syekh, Amtenar tahun 1200 M 1300 M). Begitu pula dipilihnya Kerajaan Tiro oleh Khatib Bungsu (Datuk Ri Tiro) sebagai pusat penyiaran  Agama Islam bersama Datuk Ri Bandang di Kerajaan Gowa dan Datuk Patimang di Kerajaan Luwu. Sejak tahun 1350 M pemujaan Siwa dari Majapahit telah diadopsi di sepanjang Pesisir Makassar. Pada masa itu, ada tiga Kerajaan penting di Sulawesi Selatan, yaitu Bantaeng, Luwu dan Selayar. Dan mengambil alih peran Majapahit setelah jaringan Majapahit mulai runtuh (Thomas Gibson).


    Setelah anak-anak mereka lahir Puan sungai menghilang dan muncul di Bone, lalu melahirkan anak-anak yang menjadi penguasa Bone. Kemudian ke Luwu, dan melahirkan anak-anak menjadi hadat Luwu. Dan akhirnya ke Gowa dan melahirkan anak-anak menjadi hadat pertama Gowa. Puan/putri sungai (Putri Bambu) adalah Tumanurung.


    Pada tahun 1530 M Gowa bersekutu Bone dan menyerang Luwu dan Luwu di kalahkan di sungai Cenrana menandai runtuhnya kekuasaan Luwu di seluruh Pesisir teluk Bone. Kemudian Kerajaan Konjo Pesisir secara politis di tentukan persaingan pengaruh Kerajaan Gowa dan Bone.
Mulanya Kerajaan Gowa berkuasa di Kerajaan Konjo Pesisir namun, saat Gowa berperang melawan Belanda yang di bantu Bone (Aru Palakka), Kerajaan Gowa kalah dan berdasarkan perjanjian Bongaya tahun 1667 M seluruh Kerajaan Konjo Pesisir di serahkan ke Belanda. Atas belas jasa kepada Aru Palakka (Bone), Belanda meminjamkan Kerajaan-Kerajaan Konjo Pesisir pada Kerajaan Bone (Aru Palakka).


    Terakhir hanya sepuluh Kerajaan (KeKaraengan/ Reagent/ Distrik Konjo pada masa kekuasaan Belanda sampai kemerdekaan Republik Indonesia) yaitu Kerajaan/distrik Kajang, Hero, Lange-Lange, Bontotanga, Batang, Tiro, Ara, Bira, Lemo-lemo dan Tanah beru.
Secara historis Kerajaan Konjo Pesisir terdiri dari Kerajaan Kajang yang sebelumnya terdiri dari beberapa Kerajaan. Menurut Thomas Gibson dan hasil wawancara dengan Seorang bangsawan Kajang (Abdul Hamid) mengatakan bahwa berdirinya Kajang menurut mitos yaitu di saat Pu’tamparang (Tuan laut) menangkap seorang perempuan cantik bernama Pun binanga (Puan sungai) dalam rumahnya yang berasal dari sepotong bambu yang ia jala dilaut. Pu’tamparang berjanji akan menikahinya dan Puan sungai setuju. Namun ia mewanti-wanti agar tidak terkejut bila anak-anaknya, mereka lahir orang-orang aneh. Mereka punya empat anak yaitu :
1.  Tu Kale Bojo (orang bertubuh melon), anak ini tidak punya kaki dan tangan, benar-benar bulat. Dia menjadi penguasa Lembang Lohe Kajang.
2.   Tutentaya matanna (orang bermata juling). Menjadi penguasa Nanasaya Kajang.
3.   Tusappaya lilana (orang lidahnya terbelah). Menjadi penguasa di Kajang.
4.  Tukaditili simbolenna (orang dengan sanggul kecil). Perempuan penguasa Tanah Toa.
 
Menurut Andi Abd. Karim Dg Mamangka dalam Lontara Distrik Tiro, Kajang terdiri Kerajaan Kajang, Sangkala Lombo, Lembang, Laikang, Ganta, Jalaya, Nanasaya dan Borong. Di Kajang daerah Tanah Toa yang sangat kuat kepercayaan mistiknya dan adat istiadatnya di pimpin oleh AMMATOA.

Kerajaan Hero (sebelumnya terdiri dari Kerajaan Hero dan Karassing), Kerajaan Lange-Lange (sebelumnya terdiri dari Kerajaan Lange-Lange dan Borong), Kerajaan Bonto tanga, Kerajaan Batang. Kerajaan Tiro, Kerajaan Ara, Kerajaan Bira dan Kerajaan Tanah Beru.
Kerajaan Tiro, Batang dan Bontotanga secara tradisional menjadi penyuplai sebagian besar bahan makanan yang dikonsumsi di Ara, Bira, Lemo-lemo dan Tanah beru, lalu ditukar dengan uang, ikan, dan barang dagangan. Keempat Kerajaan ini adalah daerah tandus berbatu, masyarakat hidup dilaut, berupa perdagangan, pembuatan perahu dan pelaut ulung. Mereka melayarkan perahu keseluruh nusantara dan sampai keluar negeri membawa hasil bumi dan laut untuk di perdagangkan.

Orang Ara, Lemo-lemo pandai membuat perahu dan orang Bira pandai melayarkan perahu. Ketiga daerah ini mempunyai keahlian/tugas masing-masing yang sinergis. Mengacu pada Sinrili I Dato Museng dalam episode pembuatan perahu. I Lolo Gading masing-masing mempunyai tugas spesialis dengan istilah Panre Pattangara’na Bira, Pasingkolona Tu Araya, Pabingkunna Lemo-lemo.

Kerajaan-Kerajaan Konjo Pesisir menjadi rebutan pengaruh kekuasaan Kerajaan besar di Sulawesi Selatan. Mulanya yang menguasai Kerajaan Konjo Pesisir adalah Kerajaan Luwu, sehingga yang menjadi raja pertama di Kerajaan Tiro adalah I Toa/Karaeng Samparaja Dg Malaja (Tahun 1470 M - 1510 M) adalah bangsawan dari Kerajaan Luwu. Namun sejak tahun 1500 M - 1530 M pengaruh Kerajaan Luwu mulai turun, begitu pula Kerajaan Bantaeng. Dan munculnya Kerajaan Gowa dan Bone di pentas politik di Sulawesi Selatan.

Pada tahun 1512 M Kerajaan Luwu menyerang Kerajaan Bone dan dikalahkan oleh Bone dan wajo lepas dari Kerajaan Luwu.

Pada tahun 1860 M Kerajaan Bone menyerahkan seluruh Kerajaan Konjo Pesisir kepada Belanda. Pada 23 mei 1863 M Belanda menata ulang Regent/KeKaraengan. Ada yang digabung dan adapula yang dihapus. Kerajaan Karassing digabung dengan Hero, Borong digabung dengan Kerajaan Lange-Lange.

Namun kebijaksanaan Belanda di tentang oleh hadat keKaraengan Konjo dan pada tahun 1920 M tatanan Kerajaan Konjo Pesisir kembali seperti sebelumnya (Lontara Distrik Tiro, Andi Abd Karim Dg Mamangka dan Kekuasaan, Raja, Syekh, Amtenar 1200 M – 1300 M. Thomas Gibson).

Setelah Onder Afdeling Bulukumba berpisah dari Afdeling Bonthain dan menjadi kabupaten Bulukumba. Yang meliputi 14 distrik yaitu Gantarang, Kindang, Bulukumba, Towa, Kajang, Hero, Lange-Lange, Batang, Bonto tanga, Tiro, Ara, Bira, Lemo, Tanah beru, Ujung Loe dan kota Bulukumba. Setelah seluruh distrik/keKaraengan pada tahun 1961 M dihapus, maka 14 distrik menjadi tujuh kecamatan, yaitu kecamatan Gangking (gabungan distrik Gantarang dan Kindang), kecamatan Bulukumpa (distrik Bulukumba Towa), kecamatan Ujung Bulu (gabungan distrik ujung loe dan kota Bulukumba). Sedangkan Kerajaan/distrik Konjo Pesisir menjadi 4 kecamatan yaitu kecamatan Kajang, kecamatan Herlang (gabungan Hero dan Lange-Lange), kecamatan Bontotiro (Gabungan distrik Tiro, Batang, Bonto tanga) dan kecamatan Bonto Bahari (gabungan distrik Ara, Bira, Lemo-lemo dan Tanah Beru). 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar